Sabtu, 08 November 2008

Iri Hati (Keluaran 20:17)

Apa itu iri hati?

a. Seorang Biksu berkata, “Iri hati selalu muncul dari diri orang yang tidak pernah merasa puas, menyukuri apa yang dimilikinya sekarang, sehingga selalu muncul perasaan ingin menguasai apapun yang menjadi hak milik orang lain.

b. Aristoteles, seorang filsuf, mendefinisikan iri hati sebagai “rasa sakit yang disebabkan oleh nasib baik orang lain

Dari kedua definisi tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa “iri hati” berkaitan dengan “keinginan”. Keinginan yang salah.

Mengapa disebut salah? Paling tidak ada 2 alasan, yakni :

a. Karena keinginan itu berakar pada hawa nafsu (Yakobus 4:1-3)

b. Karena keinginan itu difollow up dengan cara-cara yang salah, seperti mencuri, mencontek, dsb. Contoh: kisah Kain dan Habel (Kejadian 4:1-8)

Bagaimana tanggapan Alkitab? Firman Tuhan dengan jelas berkata, “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu." (Keluaran 20:17)

Jelas, Alkitab melarang kita untuk merasa iri pada orang lain. Kenapa ?

a. Tuhan ingin kita hidup dalam kasih, bukan iri hati

Sebenarnya, dunia seperti apa yang Tuhan inginkan ? Tuhan menginginkan dunia yang dipenuhi oleh kasih. Buktinya ?

· Matius 22:37-40, Tuhan Yesus mendorong kita untuk mengasihi Allah dan sesama. Kedua hukum inilah yang menjadi inti dari firman Tuhan

· Yohanes 3:16, Allah mengasihi manusia, dan Ia membuktikannya dengan memberikan anak tunggalNya sebagai korban penebusan kita. Dan, Tuhan ingin kita mengasihi sesama sama seperti Tuhan mengasihi kita (1 Yohanes 3:16)

· Dsb

Semua ayat tersebut menekankan hal yang sama, yakni KASIH. Tuhan mendorong kita untuk saling mengasihi dengan tujuan agar dunia dipenuhi oleh kasih, bukan kebencian, dengki, apalagi iri hati.

Perasaan “iri hati” tidak akan pernah membawa dampak yang positif bagi sebuah hubungan. Sebaliknya, “iri hati” akan merusak sebuah hubungan.

b. Tuhan ingin kita bersyukur, bukan iri hati

Iri hati dimulai dengan sebuah asumsi bahwa Tuhan sudah bersikap tidak adil. Karena, menurut kita, Tuhan memberi orang lain lebih “banyak” atau sesuatu yang lebih “baik” daripada kita.

Benarkah Tuhan sudah bersikap tidak adil? Mengapa Tuhan memberi berkat dengan “porsi” yang berbeda-beda?

Tuhan sudah adil. Karena Ia sudah memberi “porsi yang sama” pada semua orang. Yang dimaksud dengan “SAMA”, tidak berbicara tentang kuantitas, tapi berbicara tentang kapasitas.

Secara kuantitas, mungkin berbeda. Tapi Tuhan memberi sesuai dengan kapasitas kita untuk menerimanya.

Dalam perumpamaan tentang Talenta, Tuhan Yesus berkata bahwa “tuan itu memberi talenta yang berbeda-beda kepada hambaNya, sesuai dengan kemampuan mereka” (Matius 25:15).

Kalau kebenaran ini kita kaitkan dengan berkat-berkat yang telah kita teriman, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa “Tuhan memberikan berkat sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.”

Analogi: Kalau kita seorang anak berusia 5 tahun, tentu tidak bisa makan sebanyak orang berusia 20 tahun. Orang tua yang memaksa anak balitanya makan sebanyak orang usia 20 tahun, bukanlah orang tua yang baik.

Demikian pula, saat Tuhan memberi berkat kepada kita. Tuhan memberi berkat sesuai kapasitas kita untuk menerimanya. Ia tahu (mungkin) kalau ia memberi terlalu banyak, kita akan sombong dan terjebak dalam hawa nafsu.

Mengetahui hal ini, Tuhan memberkati kita dengan memperhatikan seberapa besar kemampuan kita untuk menerimanya. Semuanya adalah demi kebaikan kita.

Karena itu, dalam 1 Tesalonika 5:18, firman Tuhan berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.

Tuhan menghendaki kita mengucap syukur bukan hanya saat menerima banyak berkat, atau saat penuh sukacita, tapi juga saat menghadapi banyak pergumulan, atau saat penuh dengan air mata.

Sikap seperti ini baru akan nampak, kalau kita mendasari kehidupan kita dengan sebuah keyakinan bahwa Tuhan mengasihi kita dan Ia pasti bersikap “adil” kepada setiap orang yang dikasihiNya.

Jumat, 03 Oktober 2008

Waspadalah....!!! (2 Tesalonika 2:1-12)

Pada tanggal 31 Agustus 2007, Seluruh harian di Indonesia memuat berita, sebuah gereja yang berpusat di Bandung mengimani, bahwa hari kiamat akan terjadi pada hari Senin, tanggal 10 November 2003, Jam 15.00.
(1) Alasan pemilihan tanggal tersebut adalah karena penglihatan dan nubuatan yang pertama-tama diberikan kepada gembala sidang, lalu konon katanya, akhirnya semua anggota jemaat gereja tersebut mendapatkan penglihatan dan nubuatan yang sama.
(2) Alasan mereka menentukan jam. 15.00, konon katanya itu bertepatan dengan saat Yesus menghembuskan nafas terakhir di atas kayu salib.
Benarkah pemahaman seperti itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak Anda melihat 1 Petrus 3:10a, “…hari Tuhan akan tiba seperti pencuri….
Pernyataan ini menegaskan bahwa tak seorangpun yang tahu kapan hari itu akan tiba. Hanya Tuhan yang tahu.
Karena itu, pada ay 2:2, Paulus menasihati jemaat Tesalonika, dan kita pada zaman ini, supaya kita tidak bingung dan gelisah apabila ada orang yang memberitakan kedatangan Tuhan. Karena berita itu, bisa dipastikan 100% pasti bohong.
Karena tak ada seorangpun di dunia ini yang tahu kapan Tuhan akan datang ke dunia.
Namun, meski Tuhan tidak menyatakan kapan pastinya Ia akan datang kembali, Tuhan memberikan tanda-tanda menjelang kedatanganNya kembali.
…Sebab sebelum Hari itu haruslah datang dahulu murtad dan haruslah dinyatakan dahulu manusia durhaka, yang harus binasa…” (ay 3b)
Dengan kata lain, Tuhan akan memisahkan antara “domba” dan “kambing” (bnd Matius 25:31-46). Memisahkan umatNya dari orang-orang durhaka. Orang durhaka? Siapa mereka?
· Orang-orang Ateis yang menyatakan diri sebagai Allah (ay 4)
· Orang-orang yang menyesatkan orang lain dengan berbagai-bagai perbuatan ajaib, tanda-tanda dan mujizat-mujizat palsu (ay 9-10)
· Orang-orang yang menolak Injil yang menyelamatkan hidup mereka, dan mempercayai kebohongan (ay 10-11)
· Orang-orang yang berlaku jahat di hadapan Tuhan (ay 12)
Tuhan menyatakan bahwa mereka akan menerima hukuman atas kedurhakaan mereka (ay 12).
Mengetahui hal ini, saya, secara pribadi, melihat tanda-tanda itu sudah terlihat jelas pada saat ini. Apa buktinya?
a. Berkembangnya paham Panteisme, yang menyatakan bahwa manusia adalah Allah. Salahnya satunya terlihat dengan terbitnynya buku “The Secret”, yang menjadi salah satu buku Bestseller saat ini.
b. Banyaknya praktek-praktek kesehatan yang menggunakan tenaga prana, serta fakta semakin banyaknya paranormal saat ini.
c. Banyak orang yang menolak Injil dan lebih memilih membuka telinganya bagi kebohongan.
Bukti: Ada orang-orang yang senang menonton acara gossip dan bergosip ria, daripada mempelajari dan membicarakan firman Tuhan.
d. Meningkatnya angka kejahatan. Bahkan, bukan hanya meningkat secara kuantitas, tetapi juga secara kualitas. Terbukti, jenis kejahatan yang terjadi semakin banyak dengan modus yang semakin canggih dan variatif.

Menyadari hal ini, apa yang harus kita lakukan? Ada 2 hal yang harus kita lakukan
a. Waspada, supaya kita tidak disesatkan (ay 3)
Melihat betapa maraknya kedurhakaan saat ini, seharusnya membuat kita semakin waspada, supaya kita tidak disesatkan oleh zaman.
Supaya kita tidak “tersesat”, maka, mau tidak mau, kita harus memahami, mempelajari dan berpegang teguh pada kebenaran (ay 15).
Karena itu, mempelajari firman Tuhan bukan lagi sebuah pilihan, tapi sebuah keharusan. Tujuannya, supaya kita tidak “buta” dan dengan mudah disesatkan oleh zaman ini.

b. Waspada, supaya hidup kita tidak tercemar oleh dosa (2 Petrus 3:14)
Menjaga kekudusan hidup, di tengah kedurhakaan bukanlah perkara yang mudah. Karena kedurhakaan terpampang dengan jelas di depan mata kita, dan menawarkan kenikmatan yang, seringkali, sulit kita tolak.
Tidak heran, kalau akhirnya, ada banyak orang-orang Kristen yang jatuh ke dalam dosa, dan hidupnya tidak berbeda dari orang-orang dunia.
Menyadari hal ini, kita dituntut untuk waspada dan senantiasa berusaha menjaga kekudusan hidup kita.
Supaya kelak, ketika Tuhan datang kembali, Ia tidak melihat kita sebagai orang-orang durhaka, tetapi sebagai umat yang dikasihiNya.
Namun, kalau ternyata kita telah jatuh ke dalam dosa. Biarlah firman Tuhan ini menyadarkan kita, membuat kita berbalik dari dosa, dan mendorong kita hidup dalam kekudusan.
Karena saat ini, Tuhan masih memberi kesempatan kepada kita. Kalau kita tidak menggunakan kesempatan itu dengan baik, jangan salahkan Tuhan, kalau nanti Ia harus menghukum kita.

Sabtu, 13 September 2008

The Secret vs Iman Kristen


Apa rahasia untuk meraih semua yang kita inginkan? Pertanyaan inilah yang mendorong Rhonda Byrne, sang penulis buku “The Secret”, memulai “perjalanan”nya. Sampai pada akhirnya, ia menemukan sebuah prinsip dasar, yang ia sebut sebagai “Hukum Tarik Menarik”.
Mengutip perkataan Bob Proctor, Byrne mengatakan, “Segala sesuatu yang datang ke dalam hidup Anda ditarik oleh Anda ke dalam hidup Anda. Dan segala sesuatu itu tertarik ke Anda oleh citra-citra yang Anda pelihara dalam benak; oleh apa yang Anda pikirkan. Apapun yang berlangsung dalam benak, Anda menariknya ke diri Anda.” (The Secret, hal. 4)
Karena, “pikiran bersifat magnetis, dan pikiran memiliki frekuensi. Ketika Anda memikirkan pikiran-pikiran, pikiran-pikiran itu dikirim ke Semesta, dan secara magnetis pikiran akan menarik semua hal serupa yang berada di frekuensi yang sama. Segala sesuatu yang dikirim ke luar akan kembali ke sumbernya – Anda.” (The Secret, hal 29).
Jadi, kalau pikiran kita penuh dengan hal-hal yang baik, maka hal-hal yang baik akan datang ke dalam hidup kita. Sebaliknya, kalau kita memikirkan hal-hal yang tidak baik, maka kita akan mengalami hal-hal yang tidak baik dalam hidup kita.
Karena itu, kalau kita ingin mengalami hal-hal yang positif, Byrne mendorong kita untuk mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang positif.

Sekilas, apa yang disampaikan oleh Byrne sesuai dengan apa yang telah dinyatakan oleh Alkitab.
Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4:8)
Apalagi saat Byrne menyatakan bahwa kita akan menerima semua yang kita inginkan, kalau kita mau meminta apa yang kita inginkan dan percaya bahwa kita pasti akan menerimanya (The Secret, hal 53-62).
Bukankah hal ini selaras dengan perkataan Tuhan Yesus, “…apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya.” (Matius 21:22)
Apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.” (Markus 11:24).
Namun, ada perbedaan mendasar antara ajaran Byrne dan ajaran Tuhan Yesus.
Byrne mengatakan, “Anda adalah Tuan dari Semesta dan Jin (Semesta) ada di sana untuk melayani Anda. Jin tidak pernah mempertanyakan perintah Anda. Anda memikirkannya, dan Jin segera mulai mendongkrak Semesta, melalui orang-orang, situasi, dan peristiwa, untuk memenuhi keinginan Anda.” (The Secret, hal 52-53).
Dengan kata lain, bagi Byrne, kita (manusia) adalah allah, dan Semesta ada untuk melayani kita.
Tidak heran, kalau Byrne sangat menekankan kepastian. Byrne menyatakan bahwa semua yang kita pikirkan pasti akan terjadi, atau akan kita miliki.
Pandangan ini bertentangan dengan kebenaran firman Tuhan. Alasannya antara lain:
1. Manusia bukan Tuhan. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Karena itu, kita bukan Tuan dari Semesta, tapi bagian dari Semesta. Dan, sebagai bagian dari alam semesta, kita bertanggung jawab untuk menyenangkan hati Tuhan, sang Pencipta (Roma 11:36), bukan keinginan diri sendiri.
2. Manusia bukan penguasa alam semesta, meski Kejadian 1:26 menyatakan bahwa kita diciptakan untuk menguasai alam semesta. Tuhanlah penguasa alam semesta, karena Ia lah yang menciptakan alam semesta.
3. Karena kita bukan Tuhan, maka saat kita berbicara tentang masa depan, tidak ada yang pasti (Yakobus 4:13-17), kecuali kepastian bahwa Tuhan akan memberikan masa depan yang baik untuk kita (Yeremia 29:11).
4. Manusia adalah mahluk yang fana, yang diciptakan oleh Tuhan (Mazmur 90:10), bukan energi yang abadi seperti yang diyakini oleh Byrne.

Senin, 08 September 2008

Harapan

Pendahuluan
Apakah Anda memiliki harapan/ impian/cita-cita?
(1) Ada orang-orang yang berharap memiliki banyak uang. Supaya mereka dapat membeli atau melakukan semua yang mereka inginkan. Karena itu, mereka bekerja mati-matian untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya.
(2) Ada orang-orang yang berharap memperoleh pujian atau penghargaan dari orang lain. Karena itu, mereka berusaha untuk menorehkan banyak prestasi, atau berusaha untuk hidup saleh, supaya orang-orang ‘memandang’ mereka.
(3) Ada orang-orang yang berharap jadi orang terhormat, ke mana-mana dihormati oleh orang lain. Karena itu, mereka berusaha memperoleh kedudukan, seperti jadi presiden atau tokoh masyarakat lainnya, supaya orang-orang menghormati mereka.
(4) Dsb
Apapun harapan yang kita miliki, memiliki sebuah harapan/impian/cita-cita sangatlah penting.
Martin Luther, seorang Bapa Gereja, pernah berkata, “segala hal yang dilakukan di dunia dilakukan oleh harapan.”
Kenapa kita harus punya harapan/impian/cita-cita? Karena harapan (1) memberi arah/tujuan hidup, dan (2) memotivasi kita untuk hidup lebih baik.

Refleksi
Apa harapan/impian/cita-cita kita?

Bagaimana cara kita mewujudkan harapan-harapan kita? Ada beberapa hal yang harus kita lakukan supaya harapan-harapan kita terwujud.
1. Menyusun rencana
Harapan harus kita wujudkan dalam bentuk ‘rencana’. Apa yang akan kita lakukan untuk memperolehnya? Kita harus memiliki rencana yang ‘kongkrit’, supaya ‘jalan’ untuk mewujudkan harapan kita terlihat lebih jelas.

2. Berharap Hanya Kepada Tuhan
Yakobus mengingatkan kita supaya kita senantiasa melibatkan Tuhan dalam seluruh rencana kita (Yakobus 4:13-17).
Kenapa? Karena hanya Tuhan yang tahu dan mampu mengubah masa depan kita. Kita bisa berusaha untuk meraih yang terbaik, tapi hanya Tuhan yang bisa menjamin 100% kita akan meraih yang terbaik.
Pertanyaannya: ‘Sudahkah kita melibatkan Tuhan dalam seluruh rencana hidup kita?'
Pada umumnya, orang mengandalkan diri sendiri untuk mewujudkan semua harapannya.
Permasalahan: Apakah dengan mengandalkan diri sendiri (kepandaian, pengalaman, materi, prestasi, relasi, dsb), kita ‘pasti’ mampu mewujudkan semua harapan kita?
Nabi Yeremia memberi sebuha nasihat, “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.” (Yeremia 17:7-8)

3. Bekerja keras untuk Memperolehnya (Jangan menggunakan jalan pintas)
Untuk meraih apa yang kita inginkan, biasanya ada 2 jalan yang ditawarkan, yakni (1) jalan yang mudah dan (2) jalan yang sulit.
Kalau kita memilih jalan yang mudah, harapan kita akan lebih cepat terwujud tanpa harus bekerja keras. Namun, (biasanya) hasilnya tidak akan bertahan lama, dan akan cepat hilang.
Kalau kita memilih jalan yang sulit, harapan kita akan lebih sulit terwujud karena kita dituntut untuk bekerja keras. Namun, hasil yang kita peroleh tidak akan cepat hilang.
Jalan mana yang akan kita pilih? Rasul Paulus pernah memberi nasihat, “Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan.”

4. Belajar dari Kegagalan, Meraih Keberhasilan
Ketika berusaha, semua orang akan menghadapi kegagalan. Namun, tidak semua orang mampu bangkit kembali dari kegagalan yang ia hadapi.
Kata orang bijak, “Kegagalan adalah sukses yang tertunda.” Karena itu:
a. Jangan berkecil hati saat kita mengalami kegagalan. Karena bukan hanya kita yang menghadapi kegagalan, tapi semua orang juga bisa mengalami kegagalan.

b. Bangkitlah dari keputusasaan. Karena tak ada seorangpun yang diciptakan untuk menjadi orang gagal. Semua orang diciptakan untuk meraih kesuksesan.

c. Belajarlah dari kegagalan supaya kita meraih keberhasilan yang kita impikan. Ingatlah pada pepatah yang berkata, “Keledai saja tidak akan jatuh dua kali ke dalam lubang sama.

Rabu, 03 September 2008

Ibunda Teresa : Dipanggil Untuk Setia

Suatu kali seseorang bertanya kepada Ibu Teresa, "Ibu telah melayanikaum miskin di Kalkuta , India . Tetapi, tahukah Ibu, bahwa masih ada jauh lebih banyak lagi orang miskin yang terabaikan ? Apakah Ibu tidak merasa gagal ?"
Ibu Teresa menjawab, "Anakku, aku tidak dipanggil untuk berhasil, tetapi aku dipanggil untuk setia ...."

Ibunda Teresa : Pengorbanan


Beberapa tahun lalu, Kalkuta mengalami bencana kekurangan gula. Pada suatu hari, seorang anak kecil berumur empat tahun datang menemui saya bersama orang tuanya. Mereka membawakan saya sekaleng kecil gula. Ketika mereka menyerahkannya kepada saya, anak kecil itu berkata, "Saya sudah tiga hari tidak makan gula. Ambilah ini untuk anak-anakmu." Anak kecil itu mengamalkan cinta dengan sepenuh hati.
"Melayani bukan berbicara tentang berapa banyak yang saya dapatkan, tapi berbicara tentang berapa banyak yang bisa saya berikan kepada mereka yang membutuhkan."

Sabtu, 05 Juli 2008

Pribadi yang Sukses (Ayub 1)

Pendahuluan
Apa rahasia untuk meraih kesuksesan? Banyak orang yang berusaha mencari jawaban atas pertanyaan ini.
Beberapa tokoh ‘sukses’ pun mencoba men-share-kan pengalaman mereka kepada para pencari sukses.
Bill Gates mengatakan ada 10 rahasia untuk meraih kesuksesan, yakni :
a. Menghargai komitmen dan kerjasama dengan siapapun
b. Membina kepercayaan dengan siapapun
c. Memikirkan asas manfaat, dan bukan hanya mengejar keuntungan materi sebanyak-banyaknya
d. Mendengarkan kata hati
e. Bekerja dengan hati
f. Kekayaan bukan dinilai dari uang yang dimiliki
g. Berorientasi pada manfaat sebesar-besarnya
h. Fokus pada apa yang diperoleh bukan yang hilang
i. Belajar dari Kegagalan
j. Akui Kesalahan Dengan rendah Hati

Daniel Trump memberikan beberapa tips yang berbeda, yakni :
· Berpikirlah besar
· Berpikirlah positif
· Ikuti hatimu
· Belajar sesuatu yang baru setiap hati
· Dengarkan insting/nalurimu
· Sabar
· Bentuk tim yang hebat untuk mendukungmu
· Tarulah keindahan dalam setiap hal yang kamu lakukan
· Belajarlah bernegosiasi, karena semua yang kamu inginkan membutuhkan hal itu
· Kejarlah hasil maksimal yang bisa kamu peroleh
· Investasi di bidang real estate
· Berani mengambil resiko
· Menjadi figure public
· Be your own brand
· Menikmati bekerja kapanpun
· Berkatalah tidak
· Keluarlah dari Comfort Zone mu
· Jadilah stubborn saat dibutuhkan
· Selalu miliki rencana B
· Tidak pernah puas dengan yang terbaik kedua

Masih ada banyak lagi rahasia-rahasia kesuksesan yang di-share-kan oleh orang-orang ‘sukses’.
Pertanyaannya, apakah semua rahasia itu ‘manjur’ dan menjamin 100% akan membawa kita kepada kesuksesan?
Mungkin iya, mungkin juga tidak. Karena kunci paling mendasar dari sebuah kesuksesan tidak terletak pada semua tips itu, tapi terletak di tangan Tuhan.
Rahasia inilah yang dipahami dengan sangat baik oleh Ayub.

Pemahaman Alkitab
Tak seorangpun menyangkal kalau Ayub dikenal sebagai orang yang sangat kaya. Buktinya adalah jumlah ternak yang ia miliki.
Ayub tercatat memiliki 7000 ekor kambing domba, 3000 ekor unta, 500 pasang lembu (1000 ekor), dan 500 keledai betina. Kalau semua ternak itu dijual dengan harga saat ini, maka harta kekayaan Ayub akan mencapai + Rp. 49.000.000.000,- (49 milyar rupiah).
Mungkin kalau dibandingkan Bill Gates, salah satu orang terkaya di dunia saat ini yang kekayaannya mencapai 460 triliun rupiah (Sumber: Forbes), kekayaan Ayub tidak ada apa-apanya.
Tapi, pada saat itu, kekayaan Ayub melebihi semua orang yang ada di sebelah timur (ay 3). Jadi, Ayub bisa disebut sebagai orang sukses.
Apa rahasia kesuksesan Ayub? Salah satu rahasianya adalah menjaga hubungan yang dekat dengan Tuhan. Hal ini terlihat dari ibadahnya kepada Tuhan.
Mengapa Ayub menjaga hubungan yang dekat dengan Tuhan? Tidak lain, karena ia sadar kalau semua yang ia miliki berasal dari Tuhan (ay 21). Ia sadar tanpa Tuhan, semua kualifikasi yang ia miliki untuk menjadi orang sukses tidak ada artinya.
Karena itu, apapun yang terjadi, satu hal yang tidak pernah berubah dari diri Ayub adalah kesetiaan dan kepercayaannya kepada Tuhan.
Meski ia harus jatuh miskin, ia tidak berkecil hati. Karena ia sadar semua yang ia miliki adalah milik Tuhan. Karena itu, kalau Tuhan mau mengambilnya, ia tidak akan ragu memberikannya.
Melihat kesetiaan dan kepercayaan Ayub, tidak heran, kalau Allah memberkati Ayub dengan kekayaan yang berlimpah-limpah.

Refleksi
Hal yang sama juga bisa kita alami apabila kita meletakkan Tuhan sebagai dasar dari kehidupan kita.
Meletakkan Tuhan sebagai dasar dari kehidupan kita berarti kita harus menerapkan nilai-nilai firman Tuhan dalam semua hal yang kita lakukan.
Saat bercakap-cakap dengan Iblis, Tuhan menyebus Ayub sebagai pribadi yang “saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” (ay 8).
Artinya, Ayub tidak pernah menggunakan cara-cara yang tidak baik untuk mengelola usahanya. Ia tidak pernah merugikan orang lain demi kepentingan pribadi. Ia selalu memperlakukan pegawainya dengan baik.
Atau dengan kata lain, ia menerapkan kebenaran firman Tuhan dalam pengelolaan usahanya.
Itulah ciri orang yang meletakkan Tuhan sebagai dasar dari kehidupannya.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah menerapkan nilai-nilai firman Tuhan dalam pekerjaan kita?
Kadangkala ada sebuah kekhawatiran. Khawatir kalau kita menerapkan nilai-nilai firman Tuhan, usaha kita akan ‘macet’ dan keuntungan kita akan ‘seret’.
Kekhawatiran seperti ini sangat wajar. Karena orang bekerja tentu dengan harapan bisa memperoleh keuntungan yang banyak. Namun, bukan berarti untuk memperolehnya kita boleh menghalalkan segala cara.Sebaliknya, di sinilah iman kita diuji. Apakah kita percaya kalau Tuhan yang akan mencukupkan semuanya atau tidak?

Minggu, 15 Juni 2008

Tetap Percaya Walau Tertindas (Mazmur 116)


Woody Allen, seorang sutradara, actor dan penulis, pernah mengatakan, “Hidup penuh dengan kesedihan, kesendirian dan penderitaan.
Ungkapan ini, paling tidak menyatakan kepada kita bahwa kesulitan dan kehidupan memiliki kaitan yang sangat erat. Di mana ada kehidupan, di situ pasti ada kesulitan. Dan, fakta ini dialami oleh semua orang.
Hal ini ditegaskan oleh William Feather, seorang penulis buku, yang pernah mengatakan, “Tidak ada satupun yang terjadi dalam hidupmu yang tidak terjadi dalam hidup orang lain.
Jadi, semua orang pasti akan mengalami pergumulan dalam hidupnya. Perbedaannya hanya ada 2, yakni: (1) “Apa masalahnya?” dan (2) “Apa yang mereka lakukan saat berada dalam kesulitan/ pergumulan?”
Apa yang akan kita lakukan saat menghadapi kesulitan? Saya yakin ada banyak jawaban pilihan. Namun, di antara sekian banyak pilihan, pemazmur memilih untuk tetap percaya kepada Tuhan.
Kenapa ? Ada 2 Alasan mengapa pemazmur memilih untuk tetap percaya kepada Tuhan.

Pertama, karena ia percaya Tuhan peduli kepadaNya.
Kehidupan pemazmur, ternyata, tidak jauh berbeda dari kehidupan kita. Pemazmur juga mengalami kesulitan, yang menyebabkan ia putus asa dan kehilangan harapan hidup (ay 3).
Namun, yang menarik, dalam situasi seperti itu, pemazmur menyatakan bahwa ia tetap mengasihi Tuhan.
Kenapa ? Karena pemazmur percaya kalau Tuhan senantiasa mendengar seruannya minta tolong (ay 2).
Bahkan lebih dari itu, dalam bahasa aslinya, kata “mendengar” juga mengandung unsur “memperhatikan”. Artinya, Tuhan bukan hanya “mendengar” sambil lalu, setelah itu melupakan apa yang telah Ia dengar. Tapi Ia mendengar dengan seksama setiap seruan sang pemazmur. Seakan tak ingin kehilangan satu katapun yang terucap dari mulut sang pemazmur.
Kenapa Tuhan mau melakukan hal itu? Tidak lain, karena Tuhan peduli kepada seruan orang yang lemah dan sederhana (ay 6), orang-orang yang membutuhkan pertolonganNya.
Kalau Tuhan peduli kepada pemazmur, Tuhan pun peduli kepada kita. Kalau Tuhan mau mendengar setiap seruan dan doa sang pemazmur, Tuhan pun mau mendengar seruan dan doa kita. Karena Ia peduli kepada kita.

Kedua, karena ia percaya Tuhan akan menolongnya.
Satu perbedaan yang dilihat oleh pemazmur saat ia membandingkan Tuhan dengan orang-orang yang ia kenal adalah “Tuhan tidak pernah berbohong”.
Ya…Tuhan tidak pernah berbohong. Pemazmur mengalami sendiri bagaimana Tuhan menolongnya. Saat semua orang tidak peduli dan meninggalkannya. Tuhan tetap ada di sisinya dan menolong dia (ay 7-8, 11).
Karena itu, sang pemazmur tahu kepercayaannya kepada Tuhan tidak sia-sia.

Mengapa orang sulit untuk percaya pada Tuhan ?
Pertama, karena mereka mengukur kasih Tuhan berdasarkan pengalaman dan keadaan mereka.
Kalau mereka mengalami sesuatu yang (mereka anggap) buruk, berarti Tuhan tidak mengasihi mereka. Tapi, kalau mereka mengalami sesuatu yang (mereka anggap) baik, berarti Tuhan mengasihi mereka.
Satu hal yang seringkali kita lupa, yakni kasih Tuhan tidak bergantung pada keadaan kita. Ia senantiasa mengasihi kita baik saat kita berada dalam suka atau duka.
Karena Ia mengasihi kita, Ia mengijinkan kita mengalami dukacita kalau itu membawa dampak yang positif buat kehidupan kita.
Sebaliknya, Ia akan menghindarkan kita dari sukacita, kalau itu membawa dampak negatif buat kehidupan kita.
Karena itu, percayalah kepada Tuhan. Jangan ukur kasihNya berdasarkan keadaan atau pengalaman kita. Karena kasih Tuhan jauh lebih besar dari semua itu.

Kedua, karena mereka memiliki pegangan hidup yang lain.
Apa itu ? Bisa diri sendiri, bisa materi, mungkin juga kepandaian, atau relasi, dsb.
Permasalahannya, semua pegangan itu tidak menjamin kita bisa melalui kesulitan-kesulitan hidup kita. Karena tidak jarang, kesulitan itu melampaui kemampuan kita untuk mengatasinya.
Namun, ada satu pegangan yang bisa menolong kita, yakni Tuhan. Ia mampu menolong kita melalui setiap kesulitan-kesulitan hidup kita.

Pertanyaannya, maukah kita berpegang padaNya?

Sabtu, 31 Mei 2008

Hidup Kita Terlukis Dalam Telapak Tangan Tuhan (Yesaya 49:8-16; Matius 6:24-34)

“Hidup dan Kesulitan.” Keduanya bagaikan sekeping mata uang dengan 2 sisi yang tak terpisahkan. Di mana ada kehidupan pasti ada kesulitan. Di mana ada kehidupan pasti ada pergumulan. Di mana ada pergumulan pasti ada penderitaan. Dan kenyataan ini dialami oleh semua orang, tua muda, miskin kaya.
Ketika berada dalam kesulitan, pertanyaan yang sering muncul adalah: “Apakah Tuhan sungguh-sungguh mengasihi aku? Kalau iya, kenapa Ia membiarkan aku menderita?”
Secara tidak langsung, pertanyaan ini menyatakan sebuah KERAGUAN pada kasih dan kesetiaan Tuhan. Karena kita beranggapan kalau Tuhan mengasihi saya, seharusnya saya tidak mengalami pergumulan dan kesulitan. Jadi, karena saya mengalami penderitaan, kasih Tuhan perlu kita pertanyakan.
Keraguan serupa pernah dinyatakan oleh Israel kepada Tuhan : “Tuhan telah meninggalkan aku dan Tuhanku telah melupakan aku” (Yesaya 49:14).
Mengapa keraguan itu muncul? Hal ini tidak terlepas dari keadaan mereka saat itu, menjadi budak jajahan bangsa Babel. Kenyataan itu membuat mereka bertanya-tanya, kenapa Tuhan tidak menolong mereka.
Mereka beranggapan kalau Tuhan peduli kepada mereka, seharusnya Tuhan tidak membiarkan mereka menghadapi pergumulan, dan menjadi budak bangsa Babel, atau seharusnya Tuhan menolong mereka dan membebaskan mereka dari perbudakan bangsa Babel seperti yang pernah Tuhan lakukan pada nenek moyang mereka.
Pemikiran seperti ini sangatlah wajar, dan kebanyakan orang memikirkan hal yang sama saat menghadapi pergumulan. “Kalau Tuhan sayang pada saya, tentu Ia tidak akan membiarkan saya menghadapi kesulitan.
Pertanyaannya: “Apakah Tuhan tidak menyayangi Israel? Apakah Tuhan tidak menyayangi kita, umatNya?
Menjawab keraguan Israel, dalam Yesaya 49:15-16, Tuhan memberikan 2 analogi:
Pertama,Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau” (ay 15).
Mungkinkah seorang ibu yang penuh kasih akan melupakan anaknya? Demikian pula dengan Tuhan, Tuhan tidak akan pernah melupakan atau mengabaikan anak-anakNya. KepedulianNya adalah bukti cinta kasihNya kepada kita.
Kedua,Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku; tembok-tembokmu tetap di ruang mata-Ku” (ay 16).
'Melukis pada telapak tangan' menunjukkan kalau Tuhan tidak pernah berniat melupakan kita.
Sebaliknya, melukis pada tangan menunjukkan kalau Allah senantiasa menggenggam hidup kita dalam tanganNya. Ia tidak akan pernah melepaskan kita.
Dari kedua analogi ini, kita bisa melihat kalau Tuhan sungguh-sungguh mengasihi umatNya. Hal ini ditegaskan oleh Tuhan Yesus dalam Matius 6:26-30, saat Ia membandingkan hidup kita dengan burung di udara dan bunga di padang. Tuhan Yesus berkata kalau burung-burung di udara dan bunga di padang saja Ia kasihi, apalagi manusia yang jauh lebih berharga dari keduanya.

Permasalahannya, “Kalau Tuhan mengasihi kita, mengapa Ia biarkan kita menghadapi pergumulan?
Dari Yesaya 49 dan Matius 6, paling tidak kita akan menemukan 3 alasan mengapa Tuhan mengijinkan umatNya mengalami penderitaan.

Pertama, supaya kita menyadari kesalahan kita dan mau berbalik kepada Tuhan.
Bukan perkara yang mudah melihat orang yang dicintai menderita. Demikian pula dengan Tuhan. HatiNya sakit saat melihat umatNya menderita.
Namun, Ia mengijinkan hal itu terjadi supaya umatNya sadar dan mau berbalik kepadaNya. Ketika saatnya tiba, Tuhan berjanji akan memulihkan umatNya (ay 22-26).
Hal serupa juga diijinkan Tuhan terjadi dalam kehidupan kita. Ketika kita mengalami penderitaan, jangan cepat menyalahkan Tuhan. Introspeksi diri…!!! Jangan-jangan pergumulan itu diijinkan Tuhan kita alami karena kesalahan kita sendiri.
Tuhan mengijinkan kita mengalami penderitaan, bukan untuk menghukum kita. Ia mengijinkan kita mengalami pergumulan supaya kita menyadari kesalahan kita dan mau berbalik kepada Tuhan.
Renungkan: Apakah kita menyadari kesalahan kita? Apakah kita mau mengakuinya di hadapan Tuhan dan mohon pengampunan? Serta berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama?

Kedua, supaya kita tidak terikat pada materi dan hal-hal duniawi.
Ketika saya merenungkan Matius 6:25-34, saya tertarik pada cara Injil Matius menyusun pengajaran Tuhan Yesus. Kalau kita perhatikan perikop yang telah kita baca diawali dengan pembahasan tentang hal mengumpulkan harta (ay 19-24).
Tuhan mengajarkan supaya kita tidak mengejar harta dunia, karena harta dunia bisa binasa. Pada ay 25b, Tuhan mengingatkan bahwa hidup kita lebih penting dari apapun. Pada ay 33, Tuhan menasihatkan kita untuk lebih dahulu mencari Kerajaan Allah, maka semua akan ditambahkan kepada kita.
Dari ayat-ayat ini kita bisa menarik sebuah kesimpulan: Tuhan tidak ingin kita terikat pada hal-hal dunia, Tuhan ingin kita mengarahkan pandangan kita kepadaNya.
Karena itu, Tuhan mengijinkan kita mengalami pergumulan. Supaya kita tidak terikat pada dunia, dan mengarahkan hati kepada Tuhan.
Namun, bukan berarti uang tidak penting. Saya pun mengakui kalau uang itu penting. Tapi bukan yang terpenting. Karena pada waktunya, uang akan kehilangan nilainya. Tapi, hidup kekal tidak akan pernah hilang dari pandangan kita.
Renungkan: Apakah selama ini kita terikat pada dunia? Ingatlah, harta dunia fana, tidak kekal. Carilah dahulu Kerajaan Allah, maka semua akan ditambahkan kepadamu.

Ketiga, supaya kita senantiasa bergantung kepada Tuhan.
Yang namanya manusia, kita sering khawatir saat menghadapi pergumulan. Dan hal itu sangat wajar, karena ada banyak hal yang tidak mampu kita lakukan.
Kalau begitu, kenapa Tuhan melarang kita untuk kuatir? Supaya kita menyadari ketidakmampuan kita. Menyadari bahwa tanpa Tuhan, kita tidak mungkin dapat melakukan apapun. Sehingga kita akan bergantung penuh pada Tuhan.
Renungkan: Apakah kita menggantungkan seluruh harapan dan hidup kita pada Tuhan? Ataukah, selama ini, kita masih mengandalkan kemampuan kita sendiri? Ingatlah...!!! Kita tidak mungkin hidup tanpa Dia. Karena itu, bergantunglah kepadaNya.

Sabtu, 12 April 2008

Sudahkah Anda Menjadi Seorang Pelayan ? (Yesaya 6:8; Roma 12:1)

‘Melayani’ dan ‘menjadi seorang pelayan’ adalah 2 hal yang berbeda.
‘Melayani’ artinya kita melakukan sesuatu untuk seseorang dalam waktu dan tempat yang spesifik (tertentu). Tapi ‘menjadi seorang pelayan’ berarti kita menjadikan pelayanan sebagai hidup kita. Artinya, kapanpun dan dimanapun yang kita pikirkan dan lakukan hanya melayani orang lain.
Dalam relasi kita dengan Allah, yang Allah minta dari kita bukan hanya sekedar melayani Dia, tetapi kita menjadi pelayan-pelayan-Nya.
Roma 12:1 berkata, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”
Ayat ini dengan jelas menegaskan kepada kita bahwa Allah tidak hanya meminta anak-anakNya melayani Dia. Tetapi Allah meminta anak-anakNya mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan. Atau dengan kata lain, Allah meminta kita HIDUP BAGI DIA (menjadi pelayan-pelayan-Nya).
Kebanyakan orang bisa melayani, tapi tidak semua orang yang melayani bisa dan mau menjadi seorang pelayan.
Karena menjadi seorang pelayanan dituntut 4 hal, yakni: Komitmen, Totalitas, Ketaatan dan Kesetiaan.
KOMITMEN adalah sebuah janji yang kita buat di hadapan Tuhan, yang bersifat mengikat dan menuntut sebuah tanggungjawab.
Saya ingin mengajak Anda membaca Yesaya 6:8. “Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: ‘Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?’ Maka sahutku: ‘Ini aku, utuslah aku!’
Ketika Allah memanggil kita untuk menjadi hamba-hambaNya, hal pertama yang Ia tuntut adalah sebuah KOMITMEN. Di mana di dalamnya terkandung janji untuk memberikan seluruh hidup kita kepada Tuhan (Roma 12:1).
KOMITMEN seperti ini menuntut sebuah TOTALITAS. Tuhan tidak mau kita setengah-setengah dalam melayani Dia. Tuhan mau kita melakukan kehendakNya, dan menjawab panggilanNya dengan segenap hati dan kemampuan kita.
Dan, TOTALITAS kita akan tercermin dalam KETAATAN kita kepada Tuhan. Orang yang TOTAL dalam melayani Tuhan, akan melakukan semua kehendak Tuhan meski sulit dan menuntut pengorbanan.
Selain dalam KETAATAN, TOTALITAS kita juga akan tercermin dalam KESETIAAN. Apakah kita akan TAAT dan TOTAL sampai akhir hidu kita? Ataukah kita akan menanggalkan KOMITMEN kita di tengah jalan saat kita menghadapi kesulitan dan hambatan?
Mereka yang setia sampai akhir, akan memperoleh MAHKOTA KEBENARAN (2 Timotius 4:7-8).

Refleksi
Saya ingin mengajak Anda merenungkan beberapa pertanyaan:
a. Apakah kita sudah memegang teguh komitmen kita di hadapan Tuhan untuk melayani Dia dengan sungguh-sungguh?

b. Apakah kita sudah berusaha memberikan yang terbaik kepada Tuhan?

c. Apakah kita sudah melakukan kehendakNya dengan taat dan setia?

Selasa, 11 Maret 2008

SUNGUT-SUNGUT (Bilangan 11:1-3)

Pendahuluan
Alkisah, di sebuah peternakan, ada seekor kelinci, ayam dan tikus yang hidup berdampingan. Mereka hidup bahagia karena mereka berbagi tugas untuk kepentingan bersama.
Kelinci bertugas untuk memasak makanan. Ayam bertugas untuk mencari kayu bakar. Sedangkan tikus bertugas untuk mengambil air. Setiap mereka mengerjakan tugasnya dengan baik.
Namun, suatu hari, saat ayam sedang mengumpulkan kayu bakar, seekor burung gagak bertanya apa yang sedang ia lakukan. Ayam itu pun menceritakan kebersamaannya bersama dengan kelinci dan tikut.
Gagak itu pun mengkritik si ayam dan mengatakan bahwa ayam telah ditipu, karena ia diberi tugas yang paling berat dibandingkan yang lain.
Ternyata perkataan si Gagak berputar-putar dalam benak si ayam, dan setelah ia kembali ke rumah, ia mengeluh kepada kelinci dan tikus, dan berkata, “Aku mengerjakan tugas yang paling berat, kita harus bertukar tugas.”
Keduanya pun setuju. Mulai saat itu, kelinci bertugas mencari kayu di hutan, ayam bertugas mengambil air, dan tikus bertugas memasak.
Namun, apa yang terjadi. Saat sedang mencari kayu, kelinci dikejar oleh seekor musang, ditangkap dan dimakan oleh musang itu.
Ayam, saat sedang mengambil air, karena tidak hati-hati, terpeleset, jatuh ke dalam air dan mati tenggelam
Tikus, saat sedang memasak sup, ia bertanya-tanya, mengapa kelinci dan ayam tidak kunjung datang. Karena melamun, tikus itu tidak hati-hati dan jatuh ke dalam panci, dan mati.
Keluhan menyebabkan mereka tidak hanya kehilangan kebahagiaan, tetapi juga kehilangan hidup mereka.
Peristiwa serupa juga dialami oleh Israel. Sungut-sungut yang mereka ucapkan telah menyebabkan mereka dihukum oleh Tuhan. Sehingga mereka tidak hanya kehilangan kebahagiaan, tetapi juga kehilangan hidup mereka.
Pertama, kisah ini merupakan bagian dari perjalanan Israel menuju ke Kanaan. Seakan menjadi sebuah kebiasaan, Israel bersungut-sungut saat memikirkan nasib buruk yang menimpa mereka.
Tentu saja hal ini sangat ironis. Kenapa? Karena perjalanan ini dimulai bukan atas inisiatif Allah, tetapi atas keinginan mereka yang menginginkan kebebasan (Keluaran 2:23-25). Dan, Allah menjawab keinginan mereka dengan mengirimkan Musa.
Namun, kini, seakan Allah yang membebaskan mereka dengan paksa dari Mesir. Padahal mereka sebenarnya tidak mau meninggalkan Mesir.
Dengan kata lain, terjadi pemutarbalikkan fakta. Tuhan tidak ditempatkan sebagai pahlawan, tetapi ditempatkan sebagai penjajah.
Tidak heran, kalau Tuhan sangat marah, sampai Ia menurunkan api di tengah-tengah umatNya.
Dari sini, kita bisa belajar untuk mawas diri. Ss, tidak jarang, kita pun sering menyalahkan Tuhan atas perkara-perkara buruk yang kita alami. Padahal, sebagian besar, pergumulan yang kita hadapi disebabkan karena kesalahan kita sendiri.
Namun, berapa kali, kita menimpakan kesalahan itu kepada Tuhan, seakan Tuhan yang dengan sengaja membuat kita menderita.
Tuhan tidak pernah dengan sengaja membuat kita menderita. Bukankah dalam Matius 7:9-11, firman Tuhan berkata, “Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”
Dengan kata lain, Tuhan tidak pernah merancangkan hal-hal yang tidak baik untuk umatNya. Sebaliknya, Ia selalu memberikan yang terbaik untuk umatNya.
Kedua, tidak hanya itu, bagian ini memang tidak menjelaskan alasan mereka bersungut-sungut. Namun, saya yakin, keluhan ini muncul karena ada ketidakpuasan terhadap apa yang telah Tuhan berikan kepada mereka, entah makanan, hal-hal lainnya.
Ketidakpuasan ini sangat wajar, apabila Tuhan tidak memberikan apapun buat mereka, dan membiarkan mereka menderita.
Tapi, masalahnya, Tuhan telah memberikan segala apa yang mereka butuhkan. Mereka minta makanan, Tuhan berikan Manna (Keluaran 16). Mereka minta air, Tuhan menyediakannya di Masa dan Meriba (Keluaran 17:1-7). Mereka butuhkan perlindungan, Tuhan berikan kemenangan saat Amalek menyerang (Keluaran 17:8-16).
Jadi, sangat aneh, kalau mereka merasa tidak puas dengan apa yang telah Tuhan berikan. Namun, hal ini jadi tidak aneh, kalau orang-orang Israel ini punya mental ‘tuan’ yang meminta terus dilayani, tanpa mau melayani.
Padahal, sebagai umat Tuhan, mereka belum memberikan, atau melakukan apapun buat Tuhan. Tapi, mereka terus menerus menuntut Tuhan melakukan apa yang mereka inginkan.
Ternyata mentalitas seperti ini masih ada sampai saat ini. Ada banyak orang Kristen yang menuntut tanpa pernah menunaikan tanggung jawab mereka sebagai umat Tuhan.
Ketiga, sungut-sungut Israel secara tidak langsung merupakan ungkapan penolakan terhadap kepemimpinan Allah. Mereka tidak puas dipimpin oleh Allah, dan ingin dapat menentukan jalan hidup mereka sendiri. Karena itu, mereka bersungut-sungut kepada Tuhan.

Minggu, 02 Maret 2008

Friday 13th

Pendahuluan
British Medical Journal tahun 1993 pernah mempublikasikan sebuah tulisan berjudul “Is Friday the 13th Bad for Your Health?” Sang penulis meneliti apakah pendapat umum bahwa hari Jumat tanggal 13 adalah hari sial, benar ? Untuk menemukan jawabannya, sang penulis membandingkan rasio kecelakaan kendaraan bermotor yang terjadi pada 2 hari yang berbeda, yakni Jumat tanggal 6 dan Jumat tanggal 13, dalam satu periode selama setahun.
Ternyata, pada hari Jumat tanggal 13, sejumlah Rumah Sakit melaporkan terjadinya peningkatan angka kecelakaan kendaraan bermotor dibandingkan pada hari Jumat lainnya. Sang penulis pun mengatakan, "Friday 13th is unlucky for some. The risk of hospital admission as a result of a transport accident may be increased by as much as 52 percent. Staying at home is recommended."
Artikel ini menggelitik rasa ingin tahu. Benarkah hari Jumat tanggal 13, atau yang lebih beken disebut “Friday 13th”, adalah hari sial? Mengapa banyak orang percaya pada mitos tersebut, bahkan beberapa mengalami sampai mengalami fobia terhadap hari Jumat tanggal 13 (psikoterapis menyebutnya “paraskevidekatriaphobia”)?

Mitos Friday 13th, Agama Kristen dan Sejarah
Sejak kapan mitos ini muncul, tak ada seorangpun yang tahu dengan pasti. Ada yang mengatakan kalau mitos ini muncul pada hari Jumat, 13 Oktober 1307, saat Philip of Fair menangkap ratusan Knights Templar. Faktanya, tidak ada bukti yang mendukung pandangan ini.
Siapa yang memunculkan mitos itu? Tidak ada yang tahu dengan pasti. Tapi beberapa orang percaya mitos itu memiliki kaitan yang sangat erat dengan Kekristenan.
Buktinya, ada dalam lukisan “The Last Supper” karya Leonardo da Vinci yang melukis Tuhan Yesus bersama dengan ke-12 muridNya. Para ahli sejarah percaya bahwa Tuhan Yesus adalah orang ke 13 dalam perjamuan itu. Jika kita mulai menghitung dari Yudas, sang pengkhianat, Yesus adalah orang ke 13. Sebaliknya, kalau kita menghitung mulai dari Tuhan Yesus, Yudas adalah orang ke 13. Dan, meski tidak ada yang tahu tanggalnya dengan pasti, Tuhan Yesus disalibkan pada hari Jumat.
Selain itu, beberapa orang percaya kalau Israel terdiri dari 13 suku, meski Alkitab hanya menyebut 12 suku. Mereka percaya suku ke-13 beranggotakan para penyihir yang berusaha untuk menghancurkan para pengikut Allah.
Alkitab juga menyatakan sejumlah peristiwa buruk yang terjadi pada hari Jumat. Sebagai contoh, Tuhan Yesus disalibkan pada hari Jumat. Pembunuhan Habel dan peristiwa air bah diperkirakan terjadi pada hari Jumat.
Sampai saat ini, hari Jumat disebut sebagai hari keenam dalam satu minggu. Alkitab mengaitkan angka 6 dengan hal-hal yang tidak baik, salah satunya nubuatan dalam Wahyu 13:18 tentang para penyesat (bilangan “666”).
Bukti-bukti di atas membuat orang yakin bahwa hari Jumat tanggal 13 adalah hari yang tidak baik. Belum lagi sejumlah peristiwa buruk lainnya yang tercatat dalam sejarah, seperti :
a. Saat pemerintah Inggris memberlakukan hukuman gantung, mereka membuat sebuah panggung dengan 13 anak tangga, dan, pada saat itu, hukuman gantung biasanya dilakukan pada hari Jumat.
b. Para pelaut percaya bahwa hari Jumat adalah hari yang tidak baik untuk berlayar. Legenda mengatakan bahwa pada tahun 1800-an, sebuah kapal Inggris bernama HMS Friday dipersiapkan untuk membuktikan kepercayaan itu keliru. Semua awak dipilih pada hari Jumat, kaptennya bernama James Friday, dan kapal itu berlayar pada hari Jumat. Sampai saat ini, kapal itu hilang dan tidak pernah ditemukan.
c. Sejarah mencatat nama sejumlah pembunuh berantai yang terdiri dari 13 huruf, seperti Jack The Ripper (London, th. 1888), John Wayne Gacy (17 Maret 1942 – 10 Mei 1994), Charles Manson (12 November 1934), Jeffrey Dahmer (21 Mei 1960 – 28 November 1994), dan Theodore (Ted) Bundy (24 November 1946 – 24 January 1989).

Bukti-bukti yang Spekulatif
Melihat bukti-bukti di atas, kelihatannya mitos yang mengatakan bahwa Jumat tanggal 13 adalah hari sial, adalah benar. Tapi, kalau kita cermati lebih jauh, ada banyak bukti yang sarat dengan spekulasi tanpa bukti.
Sebagai contoh, peristiwa pembunuhan Habil dan peristiwa air bah yang diyakini terjadi pada hari Jumat. Tak ada satupun fakta yang mendasari keyakinan ini. Apalagi mengingat sistem penanggalan baru muncul sekitar tahun 753 SM, saat Romulus dan Remus mendirikan kota Roma. Kemudian, sistem penanggalan tersebut terus berkembang dan menjadi kalender Masehi yang digunakan saat ini.
Bukti-bukti lainnya, seperti keyakinan adanya suku ke-13 dari bangsa Israel yang dipercaya sebagai para penyihir hanya sebuah spekulasi tanpa bukti. Memang benar, Yakub memiliki 13 orang anak. Selain 12 anak laki-laki, Yakub juga memiliki seorang anak perempuan, Dina (Kejadian 30:21). Namun, mengingat budaya patriakal pada saat itu, yang mengedepankan kaum pria dan mengabaikan kaum wanita, tidak mungkin ada sebuah suku yang menggunakan nama ‘Dina’ sama seperti ke-12 suku lainnya yang menggunakan nama anak-anak Yusuf. Jadi, dugaan tentang keberadaan suku ke-13 hanya sebuah spekulasi kosong..
Kalaupun ada satu suku di luar 12 suku yang memperoleh bagian tanah Kanaan, suku itu adalah suku Lewi yang dikhususkan oleh Tuhan untuk melayani Tuhan (Yosua 18:7). Tapi suku ini beranggotakan para imam, bukan penyihir seperti yang dipercaya banyak orang. Jadi, kita bisa menarik kesimpulan kalau keyakinan itu sama sekali tidak benar.
Selain bukti-bukti Alkitab di atas, bukti-bukti sejarah juga perlu kita kaji ulang. Sebagai contoh, nama para pembunuh berantai. Memang benar, nama-nama yang disebutkan di atas terdiri dari 13 huruf. Tapi, tidak semua nama di atas adalah nama asli sang pelaku. “Jack the Ripper” adalah sebutan yang diberikan oleh pihak kepolisian kepada pelaku pembunuhan berantai yang tidak pernah terungkap identitas pelakunya.
Selain itu, di luar nama-nama tersebut, masih ada banyak penjahat kelas kakap yang namanya tidak terdiri dari 13 huruf. Jadi, menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti itu sangat tidak tepat.

Pandangan Alkitab
Bagaimana pandangan Alkitab tentang mitos ini? Jelas mitos ini tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Alasannya: Pertama, karena Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa ketika Allah menciptakan dunia dan isinya, Allah menciptakan segalanya BAIK (Kejadian 1:10, 12, 17, 25, 31). Artinya, Allah pun menciptakan semua hari sama baiknya, termasuk setiap hari Jumat tanggal 13.
Kalau ada hal-hal yang buruk terjadi pada hari Jumat tanggal 13, itu hanya masalah persepsi. Karena terbukti, banyak hal-hal buruk yang juga terjadi di luar hari Jumat tanggal 13. Tapi, karena banyak orang yang berpersepsi negatif tentang hari dan tanggal itu, muncul anggapan kalau hari Jumat tanggal 13 adalah hari yang tidak baik (sial).
Kedua, mempercayai mitos itu, sama artinya kita tidak mempercayai kuasa dan pemeliharaan Tuhan. Bukankah Tuhan yang berkuasa atas semua hari dan atas hidup kita. Semua yang kita alami dan peroleh berasal dari Tuhan. Dan, Tuhan tidak pernah merancangkan sesuatu yang tidak baik untuk anak-anak yang Ia kasihi (Matius 7:11). Karena itu, kita harus memantapkan hati kita pada Tuhan, bukan pada mitos-mitos atau kepercayaan yang kosong.
Ketiga, kepercayaan kepada mitos merupakan ekspresi kekhawatiran akan hari depan. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi, maka kita berusaha menghindari hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi. Ketika kita melihat sejumlah fakta negatif yang terjadi pada hari Jumat tanggal 13, secara alamiah kita menarik kesimpulan bahwa hari Jumat tanggal 13 adalah hari yang buruk (sial), dan kita berusaha untuk menghindari, atau mengantisipasinya.
Tidak heran, kalau Tuhan Yesus mengingatkan kita supaya kita tidak khawatir akan hari depan kita, sebaliknya kita didorong untuk berserah dan bergantung penuh kepada Tuhan (Matius 6:25-34). Karena hanya Tuhan yang tahu hari depan hidup kita (Yesaya 29:11).

Kebersamaan: Salah Satu Kunci Kesuksesan

Pendahuluan
Meraih kesuksesan adalah impian semua orang. Tapi, tidak semua orang mampu meraih apa yang mereka impikan. Kenapa? Paling tidak ada 2 alasan: (1) Karena mereka tidak tahu rahasianya, dan (2) karena mereka tidak tahu cara mengaplikasikannya, meski mereka sudah tahu rahasianya.
Apa rahasia untuk meraih kesuksesan? Ada banyak…. Tapi pada saat ini, saya hanya ingin menyoroti satu hal saja, yakni KEBERSAMAAN.
KEBERSAMAAN yang saya maksud di sini adalah ikatan kekeluargaan dan persaudaraan yang jauh lebih ‘dalam’ dari sekedar bekerja sama. Jadi, bukan sekedar hubungan profesional biasa.
Mungkin definisinya yang paling sederhana dinyatakan dalam paribahasa: “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.” Artinya, segala sesuatu harus dihadapi, atau ditanggung, bersama-sama.

Pertanyaannya: Benarkah kebersamaan bisa membawa kita kepada kesuksesan? Mengingat iklim persaingan yang ada pada saat ini, KEBERSAMAAN menjadi sebuah kontradiksi yang tidak masuk akal?
Sebuah pelaku bisnis pernah menulis demikian: “Kejujuran dan keseriusan serta kebersamaan dalam bisnis ini adalah kunci kesuksesan kita.”
Eko Jalu Santoso, Founder Motivasi Indonesia dan Penulis Buku Motivasi “The Art of Life Revolution”, menyebut KEBERSAMAAN sebagai salah satu sifat positif yang Tuhan taruh dalam diri manusia, sebagai kunci meraih kesuksesan dalam segala bidang kehidupan.
Andrew Ho, seorang motivator, bisnisman dan penulis buku bestseller, pernah mengutip perkataan William Blake, seorang seniman: “No bird soars too high if he soars with his own wings. – Tidak ada burung terbang terlalu tinggi bila ia terbang dengan sayap-sayapnya sendiri.”
Andrew Ho mengatakan, “Kurang lebih William Blake mengungkapkan bahwa setiap mahkluk di dunia ini memerlukan satu sama lain untuk dapat berprestasi dan hidup bahagia. Meskipun kita berada di era modern, dimana segala sesuatu dapat dikendalikan dengan tehnologi mutakhir, tetapi kesuksesan berprestasi dan kebahagiaan kita masih sangat bergantung terhadap keberhasilan menciptakan networking.”
Beberapa opini ini menyatakan kepada kita betapa pentingnya KEBERSAMAAN sebagai kunci meraih KESUKSESAN.

Pertanyaannya: Bagaimana menciptakan KEBERSAMAAN itu? Ada beberapa unsur yang perlu kita ciptakan bersama.
Pertama, Sehati Sepikir. Dalam bahasa Yunani, kata ‘sehati sepikir’ bisa diartikan “memiliki tujuan dan sasaran yang sama.”
Dalam setiap perusahaan, terdapat banyak pikiran dan tujuan. Karena perusahaan sebagai sebuah organism terdiri dari banyak orang dengan berbagai alasan dan tujuan mereka bekerja.
Untuk meraih kesuksesan bersama, setiap pribadi yang menjadi bagian dari perusahaan itu harus mau ‘menanggalkan’ ambisinya pribadi dan berusaha mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Dalam pernikahan, ada ungkapan “dalam satu perahu jangan sampai ada 2 nahkoda.” Demikian pula dalam dunia bisnis, dalam sebuah perusahaan jangan sampai ada lebih dari satu nahkoda atau tujuan.
Kedua, Tidak Egois. Memikirkan kepentingan bersama, dan bukan hanya mengejar kepentingan pribadi.
Egoisme sering menjadi kendala dalam sebuah kebersamaan. Ketika seseorang berusaha untuk ‘menang’ sendiri, atau berusaha menonjolkan diri sendiri supaya dilihat sebagai ‘kunci’ meraih kesuksesan.
Ketika itu terjadi, maka dalam perusahaan itu tidak akan tercipta sebuah KEBERSAMAAN.
Untuk menghindari hal ini, setiap anggota dari perusahaan harus mau memikirkan kepentingan orang lain juga. Dan menyadari bahwa kesuksesan sebuah perusahaan tidak ditentukan oleh dirinya sendiri, tetapi juga ditentukan oleh orang lain.
Dengan demikian, kita akan terhindar dari egoisme yang bisa merusak sebuah KEBERSAMAAN.
Ketiga, Kerendahan Hati. Kerendahan hati terekspresi dari sikap tidak sombong dan mau bekerja sama dengan orang lain.
Tidak menganggap diri mampu meski kita memiliki kemampuan. Tetap menyadari betapa pentingnya peran orang lain dalam meraih kesuksesan bersama.
Keempat, Kerelaan untuk Berkorban Demi Orang Lain. Tidak jarang, untuk menciptakan KEBERSAMAAN diperlukan pengorbanan.
Misal, mbayari saat pergi makan bersama. Atau, beli bingkisan saat salah satu di antara rekan ada yang jatuh sakit atau melahirkan.
Lebih jauh dari itu semua, pengorbanan yang dituntut lebih menunjuk pada masalah hati. Memikirkan dan siap menolong rekan, itu salah satu contohnya.

Selasa, 26 Februari 2008

Rasul Matius : Refleksi Seorang Murid Kristus

“Matius, si pemungut cukai.” Inilah keterangan singkat tentang sosok yang satu ini. Mungkin bagi kita yang hidup pada zaman ini, sebutan itu tidak ada artinya. Tapi bagi orang-orang pada zaman itu, para pemungut cukai adalah orang-orang yang sangat dibenci dan dianggap begitu menjijikkan. Karena mereka dianggap sebagai pengkhianat yang rela menyengsarakan bangsa sendiri demi keuntungan penjajah Romawi.
Dibutuhkan kerendahan hati dan keberanian untuk mencantumkan keterangan itu. Namun, Matius tidak ragu untuk mencantumkannya, untuk menunjukkan betapa besar kasih Tuhan yang berkenan menerima dia apa adanya, saat orang lain menolak dia.
Semua berawal saat Tuhan memanggil dia dan berkata, “Ikutlah Aku” (Lukas 5:27). Segera, Matius berdiri dan meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Dia (Lukas 5:28). Dan, pilihannya itu ternyata tidak salah.
Matius meninggalkan segalanya demi Kristus. Karena itu, ia memperoleh sesuatu yang lebih berharga dari semua tawaran dunia, yakni keselamatan dan hidup yang kekal.
Tidak heran, kalau Matius terus mengumandangkan nama Tuhan sampai akhir hidupnya di dunia. Selain itu, ia juga menulis biografi Tuhan Yesus supaya ada lebih banyak lagi orang yang merasakan dan mengalami kasih Tuhan dalam hidup mereka.Sama seperti Matius, Tuhan juga mengulurkan tangan kasihNya kepada kita, tanpa pernah memandang status sosial kita, prestasi kita, atau apa yang kita miliki. Tuhan menerima kita apa adanya, dan, untuk kita, Ia telah memberikan nyawaNya. Karena itu, jangan lupa untuk selalu bersyukur kepada Tuhan

Rasul Yohanes anak Zebedeus : Refleksi Seorang Murid Kristus

Murid yang termuda dan yang terakhir meninggal dunia karena imannya kepada Tuhan. Itulah Yohanes anak Zebedeus. Pengalaman imannya ia tuangkan dalam 5 kitab, yakni Injil Yohanes, tiga surat-surat Yohanes dan kitab Wahyu.
“Murid yang dikasihiNya.” Sebutan ini berulangkali digunakan dalam Injil Yohanes, untuk mendeskripsikan dirinya. Bukan berarti, Tuhan mengasihi Yohanes lebih dari murid-murid lainnya. Tetapi, karena Yohanes merasakan dan mengalami kasih Tuhan yang begitu besar.
Meskipun ia masih muda, dan kemungkinan yang termuda di antara murid-murid lainnya, tapi Tuhan tidak memandangnya sebelah mata seperti orang Yahudi pada umumnya. Sebaliknya, Tuhan dengan penuh kesabaran membimbing Yohanes, saat ia melakukan kesalahan atau tidak memahami ucapan-ucapan Tuhan Yesus. Tercatat, hanya 3 kali Tuhan Yesus menegur Yohanes (Markus 9:38-41; 10:35-41; 14:32-42).
Demi membalas kasih Tuhan, Yohanes berani mengesampingkan rasa takutnya, menemani Tuhan Yesus sampai saat Dia berada di atas kayu salib, dan melakukan pesan Tuhan Yesus dengan penuh ketaatan (Yohanes 19:26-27).
Saat gurunya telah tiada, Yohanes tetap setia melayani Tuhan sampai akhir hidupnya. Bahkan, meski ia harus mengalami masa pembuangan di pulau Patmos, kesetiaannya tetap tidak luntur.
Tidak heran, kalau Tuhan mempercayakan penglihatan tentang akhir zaman dan dunia yang baru kepada Yohanes, yang kemudian ia tulis dalam kitab Wahyu.
Memahami sosok ini, membuat kita termenung dan bertanya kepada diri sendiri, “Apakah kita yang telah merasakan kasih Tuhan, akan tetap setia kepada Tuhan saat menghadapi kesulitan?

Rasul Yakobus anak Zebedeus : Refleksi Seorang Murid Kristus

Tujuh belas tahun sebelum hari pelaksanaan hukuman matinya, Yakobus dan saudaranya, Yohanes, telah meminta tempat kehormatan di dalam kerajaan Kristus. Saat itu, Tuhan bertanya, “Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Kuminum dan dibaptis dengan baptisan yang harus Kuterima?” (Markus 10:38). Dengan bersemangat dan berapi-api, tanpa memahami maksud pertanyaan itu, mereka menjawab, “Kami dapat” (Markus 10:39).
Kini ujian yang terakhir datang bagi Yakobus. Di atasnya berkilauan pedang penganiayaan Herodes Agripa, saudara laki-laki Herodias yang menjadi penyebab kematian Yohanes Pembaptis. Cawan kesengsaraan dipaksakan ke bibir Yakobus dan ia meminumnya dengan iman dan semangat gurunya.
Yakobus bukan martir pertama. Tetapi ia adalah rasul pertama yang mengalami ujian kesetiaan di hadapan kematian, dan ia berhasil melalui ujian itu. Meskipun hidupnya harus berakhir, tetapi kesaksian tentang kesetiaan imannya tetap berkumandang hingga saat ini.
Apakah kesetiaan yang sama akan Tuhan temukan dalam diri kita? Apakah saat berhadapan dengan kesulitan, iman kita tetap kokoh? Apakah ketika pencobaan datang, kita tetap setia hidup di dalam Tuhan?
Mungkin ujian yang kita hadapi berbeda dengan apa yang telah dihadapi oleh Yakobus. Namun, hadiah yang sama telah Tuhan sediakan bagi mereka yang setia kepada Tuhan (Wahyu 2:10).

Rasul Bartolomeus : Refleksi Seorang Murid Kristus

Tidak banyak informasi yang Alkitab berikan tentang sosok ini, selain apa yang tercatat dalam Yohanes 1:45-51, saat ia mendengar dan bertemu pertama kali dengan Tuhan Yesus.
Bartolomeus mendengar tentang Tuhan Yesus dari Filipus yang berkata, “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret” (ayat 45).
Setelah mendengar berita itu, (mungkin) dengan nada sinis, Bartolomeus hanya berkata, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (ayat 46). Sebuah kalimat yang mengandung keraguan dan prasangka: “Jangan-jangan Tuhan Yesus hanya orang biasa yang mampu mengajar dengan baik sama seperti guru-guru agama lainnya.
Namun, keraguan dan prasangka itu tidak menghalangi Bartolomeus untuk menemui Tuhan Yesus. Dan, saat melihat Bartolomeus, Tuhan Yesus berkata, “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (ayat 47).
Saat mendengar perkataan Tuhan Yesus, Bartolomeus merasa heran. Bagaimana Tuhan Yesus bisa mengenal dia, padahal mereka tidak pernah bertemu atau bercakap-cakap sebelumnya (ayat 48).
Menjawab pertanyaan yang berkecamuk di dalam benak Bartolomeus, Tuhan berkata, “Sebelum Filipus memanggil engkau, Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara” (ayat 50).
Jawaban ini menunjukkan bahwa Tuhan sudah mengenal Bartolomeus sebelum ia mendengar tentang Tuhan Yesus. Dan, Tuhan sudah memilih Bartolomeus menjadi muridNya sebelum ia memilih Tuhan Yesus menjadi gurunya (baca Yohanes 15:16).
Hal serupa juga terjadi dalam hidup kita. Bukan kita yang memilih Tuhan, tetapi Tuhan yang telah memilih kita untuk menjadi anak-anak terang yang memancarkan sinar kasih Tuhan di tengah dunia ini (Galatia 1:15-16). Karena itu, bersyukurlah untuk kasih karunia yang telah Tuhan berikan kepada kita, dan hiduplah sebagai anak-anak terang di tengah dunia ini.

Kamis, 07 Februari 2008

Rasul Tomas: Refleksi Seorang Murid Kristus

“Kritis.” Sebutan ini sering disematkan pada rasul ini. Karena ia bukan pribadi yang mudah percaya pada perkataan orang lain tanpa bukti yang nyata. Tidak heran, ketika teman-temannya bersaksi tentang kebangkitan Tuhan Yesus, Tomas tidak percaya dan berkata, “Sebelum aku melihat bekas paku pada tanganNya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambungNya, sekali-kali aku tidak akan percaya” (Yohanes 20: 25).
Sosok ini mewakili orang-orang yang rasionalis, yang tidak mudah percaya pada hal-hal yang dianggap irrasional tanpa bukti yang jelas. Namun, demi orang-orang seperti inipun, Tuhan mau merendahkan diri.
Karena itu, delapan hari kemudian, saat Tuhan menemui para murid, Ia mengulurkan tanganNya dan berkata kepada Tomas, “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tanganKu, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambungKu dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah” (Yohanes 20:27).
Kesabaran Tuhan dalam menghadapi ketidakpercayaan Tomas, membuat Tomas menyatakan, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yohanes 20:28). Pernyataan yang mengandung sebuah pengakuan bahwa Tuhan memiliki kuasa yang melebihi akal budi manusia. Tuhan memiliki kuasa untuk mengalahkan dan bangkit dari kematian.
Apakah Anda sama seperti Tomas, masih meragukan kuasa dan kebangkitan Tuhan? Tak ada satupun bukti yang dapat menjawab keraguan Anda, selain memulai segalanya dengan percaya. Tuhan berkata, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yohanes 21:29).
Karena dengan percaya pada kuasa Tuhan, maka kita akan melihat bahwa tidak ada yang mustahil bagi Dia.

Rasul Yudas anak Tadeus: Refleksi Seorang Murid Kristus

Tidak banyak informasi yang dapat kita peroleh tentang sosok ini, selain sebuah pertanyaan yang ia ajukan kepada Tuhan Yesus pada perjamuan malam terakhir: “Tuhan, apakah sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diriMu kepada kami, dan bukan kepada dunia?” (Yohanes 14:22)
Pertanyaan ini menunjukkan kalau Yudas belum memahami dengan benar perkataan Tuhan Yesus: “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu. Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamupun akan hidup…Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya” (Yohanes 14:18-21).
Yudas, sama seperti murid-murid yang lain, menganggap Tuhan Yesus adalah Juruselamat yang akan membebaskan bangsa Yahudi dari penjajahan bangsa Romawi, dan menegakkan Kerajaan Allah di dunia.
Karena itu, dalam benak Yudas, sangatlah membingungkan kalau Tuhan Yesus tidak menyatakan diriNya kepada dunia. Bukankah Ia yang akan menjadi Raja atas dunia ini?
Apa maksud Tuhan Yesus ? Kalau kita perhatikan, sebenarnya, perkataan itu merupakan kalimat penghiburan yang ditujukan kepada para murid, bahwa Tuhan Yesus tidak akan meninggalkan mereka sendirian. Sebaliknya, Ia akan segera kembali, menjemput mereka yang percaya, dan membawanya ke surga (bnd. Yohanes 14:1-3).
Hanya mereka yang sungguh-sungguh mengasihi Dia.” Kalimat ini sangat ditekankan oleh Tuhan Yesus, supaya Yudas, dan murid-murid yang lain, senantiasa menjaga hatinya untuk Tuhan dan berusaha untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Karena Tuhan menuntut kita mengasihi Dia “bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yohanes 3:18).

Jumat, 25 Januari 2008

Rasul Petrus: Refleksi Seorang Murid Kristus


“Spontan dan tulus, namun tidak konsekuen.” Tiga karakter inilah yang mewakili pribadi Petrus.
Spontanitasnya nampak saat ia meresponi setiap perkataan Tuhan Yesus. Bagaimana ia dengan cepat berucap atau berbuat, tanpa berpikir panjang, saat Tuhan Yesus berbicara, bertanya atau memintanya melakukan sesuatu.
Salah satu contohnya, saat Tuhan menyatakan bahwa waktuNya di dunia semakin singkat, Petrus segera menarik Tuhan Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa engkau” (Matius 16:22).
Karakter inilah yang menjadi ciri khas Petrus, dan, oleh sebagian orang, dianggap sebagai salah satu kelebihan Petrus. Karena, di balik karakter ini, terdapat ketulusan bukan kemunafikan.
Berbeda dari kebanyakan orang, Petrus selalu menyatakan apa yang ia pikirkan atau rasakan. Ia tidak pernah menutupi siapa dirinya, apa yang ia pikirkan dan rasakan.
Tidak heran, kalau kelemahan Petrus pun terpampang dengan jelas di dalam kitab-kitab Injil, yakni tidak konsekuen dengan apa yang ia pernah ucapkan.
Sebagai contoh, Petrus pernah berkata, “Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak” (Matius 26:33). Tapi, apa yang terjadi, ia meninggalkan Tuhan Yesus saat pengawal-pengawal Bait Allah menangkap Tuhan Yesus (Matius 26:56b). Bahkan, ia tiga kali menyangkali Tuhan Yesus saat berada di halaman Bait Allah (Matius 26:69-75).
Tapi, puji Tuhan, kelemahan ini disertai oleh kesadaran untuk belajar dan berubah. Berbeda dari Yudas yang memilih untuk bunuh diri, Petrus bertobat saat Tuhan Yesus menemui dan memanggilnya kembali (Yohanes 21:15-19). Bahkan, ia terus melayani Tuhan sampai akhir hidupnya.
Apakah saat Tuhan memanggil kita kembali kepadaNya, kita menjawab panggilan itu sama seperti Petrus? Ingatlah seruan Yohanes Pembaptis, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Matius 3:2)

Temptation (Matius 4:1-11) - 3


“Jalan pintas”, sesuatu yang dicari oleh banyak orang, karena menjanjikan kemudahan dalam usaha menggapai tujuan. Tanpa menyadari bahwa jalan pintas menuntut pengorbanan yang tidak sedikit, termasuk pengorbanan iman. Tidak semua, tapi sebagian besar “jalan pintas”, menuntut sesuatu, dan, tidak jarang, kita harus berkompromi dengan dosa.
Salah satu contohnya dialami oleh Tuhan Yesus (Matius 4:8-10).

Pemahaman Alkitab
Filipi 2:5-8 menyatakan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
Bukan perkara yang mudah, hidup tak memiliki apapun setelah sekian lama memiliki segalanya. Tidak heran, kalau orang-orang seperti ini menjadi sasaran empuk dari Iblis, termasuk Tuhan Yesus.
Ayat 8 menyatakan bahwa Iblis membawa Tuhan Yesus ke atas gunung yang sangat tinggi dan menunjukkan kepadaNya semua kerajaan dunia dan kemegahannya. Lalu Iblis pun menawarkan untuk memberikan segalanya, asalkan Tuhan Yesus mau menyembahnya.
Sebuah tawaran yang kelihatannya menggiurkan, namun melukiskan sosok Iblis yang sebenarnya, yakni sebagai pendusta. Dalam Lukas 4:6, ia berkata kepada Tuhan Yesus bahwa semua yang ada di dunia ini beserta dengan kemuliaannya adalah miliknya, dan ia berhak memberikannya kepada siapapun yang ia inginkan.
Padahal, kita semua tahu bahwa semua yang ada di dalam dunia adalah milik Tuhan, bukan Iblis. Tapi, itulah Iblis, demi memperoleh apa yang ia inginkan, cara apapun ia gunakan. Dan, tanpa kita sadari, kita telah terjebak dalam kesalahan yang sama. Demi memperoleh apa yang kita inginkan, cara apapun akan kita gunakan, dan berapa banyak pengorbanan yang dibutuhkan, akan kita berikan.
Namun, Tuhan tidak terjebak dalam tipu muslihat Iblis. Ia tahu ‘jalan’ yang akan Ia lalui sangat sulit, tapi itu tidak mendorongnya mengambil ‘jalan’ yang mudah. Karena Ia tahu, saat Ia memilih ‘jalan’ yang mudah, saat itulah Ia telah jauh dari Bapa.
Sebaliknya, apabila Ia mengambil ‘jalan’ yang sulit, Ia akan memperoleh segalanya. Selain hubunganNya dengan Bapa tetap terjaga, Ia akan dipimpin dan ditolong Bapa untuk menyelesaikan misiNya datang ke dalam dunia.
Karena itu, Tuhan Yesus menolak tawaran Iblis dan berkata, “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (ayat 10)
Tuhan mampu menolak tawaran Iblis, bagaimana dengan kita?

Refleksi :

  1. Apakah, selama ini, kita sering menggunakan ‘jalan pintas’ untuk memperoleh apa yang kita inginkan?
  2. Apakah saat ‘jalan pintas’ itu menuntut pengorbanan iman, kita akan melakukannya?

Temptation (Matius 4:1-11) - 2


Berbicara adalah perkara yang mudah, tetapi melakukan apa yang kita katakan tidaklah sama. Terbukti, dalam banyak kesempatan, kita tidak melakukan apa yang telah kita katakan.
Namun, kita tidak perlu berkecil hati, karena fakta ini bukan hanya terjadi pada diri kita, tetapi dialami hampir oleh semua orang. Sehingga, secara umum, orang tidak lagi mempercayai sebuah pernyataan lisan, dan selalu menuntut ada pernyataan tertulis, hitam di atas putih.
Keraguan seperti ini sangatlah wajar, melihat kenyataan yang ada. Firman Tuhan pun mengatakan, “Orang yang tak berpengalaman percaya kepada setiap perkataan, tetapi orang yang bijak memperhatikan langkahnya” (Amsal 14:15) untuk mengingatkan kita agar bijaksana dalam memilah perkataan yang benar dan yang salah, yang bisa dipegang dan yang tidak bisa dipegang.
Namun, tanpa kita sadari, kita tidak hanya meragukan apa yang dikatakan oleh orang-orang di sekitar kita, tetapi kita juga meragukan apa yang telah difirmankan oleh Tuhan. Dan, keraguan inilah yang sering dipakai oleh Iblis untuk merusak relasi kita dengan Allah.
Tuhan Yesus memahami hal ini. Karena itu, Ia mengingatkan kita supaya kita tidak mempertanyakan atau meragukan apa yang telah Tuhan firmankan, karena Tuhan pasti akan menggenapi setiap firmanNya.

Pemahaman Alkitab
Ss, setelah gagal menjebak Tuhan Yesus, Iblis pun merubah strateginya dengan mengutip Mazmur 91:11-12. Dalam Mazmur 91, Tuhan berjanji akan melindungi umatNya dari bahaya (Mazmur 91:9-13).
Iblis tahu itu, dan ia meminta Tuhan Yesus untuk terjun dari bumbungan Bait Allah dan membuktikan apakah Allah akan menatang Dia seperti yang telah difirmankanNya atau akan membiarkan Tuhan Yesus jatuh.
Sebenarnya, kedua pilihan itu tidak ada satupun yang baik. Karena kedua pilihan itu didasarkan pada keraguan apakah Allah akan menepati janjiNya atau tidak. Dan, apapun pilihan yang Tuhan Yesus ambil akan merusak hubunganNya dengan Allah, karena Tuhan Yesus telah meragukan firman Allah.
Tuhan mengetahui hal itu. Karena itu, Ia mengutip Ulangan 6:16, “Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” (ayat 7). Tujuannya, mengingatkan kita supaya kita senantiasa percaya dan memegang teguh janji-janji Allah (Roma 15:4; Kolose 1:23), karena Tuhan yang menjanjikannya adalah Allah yang setia (2 Timotius 2:13; Ibrani 10:23), yang senantiasa akan menepati setiap firmanNya (Nehemia 9:8; 2 Petrus 3:9).

Refleksi :
Apakah kita sungguh-sungguh percaya pada janji-janji Tuhan?

Temptation (Matius 4:1-11) - 1



Apa tujuan hidup kita? Untuk apa kita bekerja dan sekolah? Ada seorang teman yang mengatakan (dengan bercanda) bahwa ia bekerja demi sesuap nasi dan segenggam berlian. Mungkin jawaban itu hanya sebuah guyonan, tapi canda itu melukiskan kenyataan pada saat ini, di mana semua orang hidup hanya demi memuaskan kebutuhan, keinginan, bahkan hawa nafsunya. Dan, tidak jarang, demi itu semua mereka rela mengorbankan banyak hal yang sebenarnya jauh lebih penting dan jauh lebih berharga.
Seorang suami rela mengorbankan keluarganya demi memperoleh kesuksesan dalam karir. Seorang ayah rela membuang anaknya yang lahir dalam keadaan cacat demi menyelamatkan nama baik dan reputasi. Seorang anak tega menyakiti orang tuanya demi memperoleh apa yang ia inginkan. Dan masih ada banyak lagi.
Satu hal yang menjadi perlu kita renungkan bersama: Apakah semua itu membuat hidup kita berarti? Ataukah sebaliknya, semua itu membuat kita kehilangan arti hidup?
Dalam Matius 4:1-4, Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa ada yang jauh lebih penting, jauh lebih berharga, dari hanya sekedar mengejar hawa nafsu, keinginan dan kebutuhan, yakni melakukan apa yang Allah inginkan (v 4).

Pemahaman Alkitab
Setelah Tuhan Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, Roh Allah membawanya ke padang gurun supaya Ia dapat mempersiapkan diri sebelum memulai perjalanan dan pelayananNya. Karena itu, selama 40 hari – 40 malam Tuhan Yesus berdoa dan berpuasa (v 2).
Setelah 40 hari – 40 malam Ia berpuasa, Tuhan pun merasa lapar (v 2). Sama seperti kita, sebagai manusia, Tuhan pun membutuhkan makanan. Saat itulah, Iblis datang dan mencobai Dia.
Iblis berkata, “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti” (v 3).
Saya yakin ‘mengubah batu menjadi roti’ bukanlah perkara sulit buat Tuhan Yesus. Bukankah Ia yang menciptakan alam semesta (Kejadian 1). Kalau saat Israel mengembara di padang guru, Ia mampu mengeluarkan mata air dari gunung batu atau mengubah air yang rasanya pahit menjadi manis, mengubah batu menjadi roti hanya masalah kecil.
Namun, Tuhan ingin menekankan sesuatu yang lebih esensi. Tuhan ingin mengajarkan kepada kita bahwa arti hidup tidak sedangkal yang dipikirkan oleh banyak orang, yakni memuaskan keinginan ‘perut’. Sebaliknya, ada sesuatu yang jauh lebih penting, yakni melakukan kehendak Tuhan.
Bukan berarti memenuhi isi perut tidak penting. Namun, kalau masalah perut yang menjadi tujuan hidup kita, maka kita meleset dari tujuan hidup yang telah Allah tetapkan untuk kita.
Tuhan menciptakan kita bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kita. Tuhan menciptakan kita untuk melayani Dia, memuliakan Dia (baca Kejadian 2:15-17; Yeremia 1:5). Karena itu, hidup kita baru berarti, atau punya nilai, kalau kita mampu memenuhi tujuan itu.

Refleksi :
  1. Apa tujuan hidup kita selama ini?
  2. Apakah kita sudah memahami misi yang telah Tuhan rencanakan untuk kita?
  3. Sudahkah kita melakukan misi itu dengan setia?

Rabu, 16 Januari 2008

Kemarahan (I) : Refleksi Seorang Pemimpin

Beberapa waktu yang lalu, seorang hamba Tuhan senior memberi sebuah nasihat yang sangat berharga. Beliau mengatakan bahwa saat kita berada dalam keadaan marah, sebaiknya kita tidak membuat keputusan apapun, karena tidak jarang keputusan itu sebuah keputusan yang salah.
Nasihat ini sangat tepat, terbukti banyak pemimpin yang salah dalam mengambil keputusan bukan karena mereka tidak pandai atau bijaksana, tetapi karena mereka membiarkan diri mereka dikuasai oleh kemarahan. Akibatnya, keputusan mereka bukan keputusan yang dibuat berdasarkan akal sehat, tetapi berdasarkan emosi sesaat. Firman Tuhan menegaskan hal ini, "Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan" (Amsal 14:29).
Bukti dampak negatif kemarahan terhadap pengambilan keputusan bisa kita lihat pada peristiwa Kain dan Habel (Kejadian 4:1-16). Ketika Kain melihat Tuhan tidak mengindahkan korbannya, ia marah kepada Habel dan memutuskan untuk membunuh Habel. Meskipun Tuhan telah mengingatkannya, tetapi kemarahan telah membutakan hati Kain. Sehingga terjadilah pembunuhan terhadap Habel.
Dari kisah ini, kita bisa menyimpulkan bahwa saat kita dikuasai oleh kemarahan, jangan sampai kita mengambil sebuah keputusan. Sebaliknya, mari kita miliki kesabaran, supaya keputusan-keputusan yang kita ambil tidak salah.

Sabtu, 05 Januari 2008

Kerendahan Hati : Refleksi Seorang Pemimpin

Menjadi seorang pemimpin yang rendah hati, ternyata bukan perkara yang mudah. Mengingat posisi kita sebagai sosok yang dihormati dan diteladani, tidak jarang membuat kita terlena dan enggan untuk kehilangan semua itu. Apalagi, kalau posisi itu sudah kita nikmati bertahun-tahun lamanya.
Hal ini membuat saya menyadari betapa sulitnya 'mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba' (Filipi 2:5-8). Dan, tidak heran, kalau Tuhan meninggikan orang-orang yang mampu 'mengosongkan diri' sama seperti Tuhan Yesus.
Namun, sulit bukan berarti mustahil... Kita tetap bisa menjadi seorang Pemimpin yang rendah hati, selama kita selalu waspada dan menjaga hati kita supaya tidak terlena oleh semua penghormatan yang kita terima. Kita harus ingat bahwa hanya Tuhan yang layak dihormati dan dilayani. Hanya Tuhan yang layak ditinggikan dan dimuliakan.
Saya ingat syair sebuah lagu Sekolah Minggu yang berkata:
"Dia harus s'makin bertambah, ku harus s'makin berkurang
Nama Yesus saja disembah, ku di tempat paling b'lakang
Bila Yesus ditinggikan dan salibNya dib'ritakan
Pasti 'kan menarik semua orang datang kepadaNya s'karang"
Semoga kita semua ditolong Tuhan untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang rendah hati... Gbu
Google
WWW Blog ini