Kamis, 20 Desember 2007

Saat Teduh (I)


Mungkinkah seorang memahami kehendak Tuhan? Jawab, TIDAK, kecuali kalau Tuhan berkenan menyatakan kehendakNya.
Karena itu, kita harus menyadari bahwa kesempatan untuk memahami kehendak Tuhan adalah sebuah anugerah yang tidak ternilai. Karena Tuhan berkenan menyatakan kehendakNya kepada kita.
Masalahnya, banyak sekali orang Kristen yang tidak menyadari hal ini, dan membuang waktu dan kesempatan mempelajari dan merenungkan firman Tuhan. Padahal, kesempatan seperti ini dicari oleh banyak orang. Tapi, kita yang memiliki kesempatan itu, malah membuangnya.
Beberapa jemaat pernah bertanya kepada saya: “Bagaimana caranya memahami kehendak Tuhan?
Nasihat pertama yang selalu saya berikan adalah dengan BERSAAT TEDUH. Karena melalui saat teduh, kita sedang dilatih untuk peka pada suara Tuhan.
Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa ‘suara’ Tuhan tidak selalu identik dengan suara verbal. Tuhan sering menyatakan kehendakNya secara tidak langsung, melalui berbagai pengalaman dan peristiwa yang kita alami, melalui orang-orang yang ada di sekitar kita, dsb (misal Ayub [Ayb 42:5]). Karena itu, kita harus melatih ‘indera’ rohani kita untuk peka pada suara Tuhan. Supaya kita dapat memahami kehendak Tuhan dengan benar.

Minggu, 09 Desember 2007

Keteladanan: Refleksi Seorang Pendidik

Dalam proses pendidikan moral dan etika, figur yang bisa menjadi contoh atau teladan bagi para peserta didik sangat dibutuhkan. Hal ini ditegaskan oleh sejumlah pakar pendidikan.

Benyamin Bloom (1986) mengatakan bahwa dalam konteks pembudayaan pendidikan, contoh jauh lebih penting ketimbang serangkaian teori yang kering tanpa makna. Teori tetap penting, namun menjadi lebih mudah terjadi transformasi ketika ada contoh-contoh nyata yang dengan mudah diterapkan dalam kehidupan nyata.

J. Drost (1996) mengatakan bahwa dalam pendidikan yang membutuhkan perubahan perilaku peserta didik, keteladanan dari orang terdekat peserta didik sangat penting. Perilaku guru, kepala sekolah, wali kelas di sekolah, orang tua, tetangga dan tokoh masyarakat di rumah maupun pemimpin negara dalam konteks negara bangsa sangat diperlukan. Peserta didik memerlukan figur identifikasi untuk menemukan jati dirinya.

Ternyata, hal ini sudah disadari oleh Tuhan Yesus. Karena itu, Ia datang ke dalam dunia, selain untuk menebus manusia yang berdosa (main purpose), tetapi juga untuk memberikan teladan bagi kita, orang-orang percaya (baca Matius 11:29; 20:26-28). Tujuannya, tidak lain, supaya kita mampu mengaplikasikan nilai-nilai moral dan etika seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dengan baik.

Dalam Filipi 2:5, firman Tuhan berkata, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus…" Kata “menaruh pikiran dan perasaan” dalam bahasa aslinya memiliki pengertian berpikir seperti Kristus atau berperilaku seperti Kristus. Dengan kata lain, Kristus adalah figur yang harus kita ikuti dan teladani.
Hal ini ditegaskan oleh rasul Yohanes, yang berkata, “Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup”(1 Yohanes 2:6)

Ternyata, rasul Paulus pun menerapkan metode yang sama. Dalam 2 Timotius 3:10, ia berkata, “Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku.” Tidak heran, kalau pelayanannya menjadi berkat bagi banyak orang.

Dari kebenaran ini, kita, para pendidik, seharusnya menyadari dan mulai mengevaluasi diri: Apakah selama ini, kita sudah menjadi teladan yang baik bagi anak didik kita? Ataukah sebaliknya, apa yang kita ucapkan berkontradiksi dengan perilaku dan kehidupan kita?
Banyak pendidik yang mampu mengajarkan nilai-nilai moral dan etika dengan baik, tetapi tidak mampu memberikan contoh atau teladan yang nyata. Tidak heran, kalau banyak peserta didik yang memiliki pengetahuan tentang nilai moral dan etika, tetapi tidak mengalami transformasi hidup. Kesalahan tidak sepenuhnya terletak pada mereka, tetapi (sangat) mungkin ada pada diri kita. Karena itu, mari, sebagai pendidik, kita mawas diri dan belajar untuk hidup seturut dengan nilai-nilai moral dan etika seperti yang telah Tuhan Yesus ajarkan kepada kita

Kamis, 29 November 2007

Yosua 14:6-15 (Nopember 30, 2007)

Meraih kesuksesan di dalam Tuhan adalah idaman setiap orang percaya. Namun, tak semua orang dapat memperolehnya, dan Kaleb adalah salah satu dari sedikit orang yang telah memperolehnya.

Apa rahasianya? Dalam Yosua 14:6-15, tiga kali frasa “…tetap mengikut Tuhan, Allahku, dengan sepenuh hati” (ayat 8,9,14). Hal ini menunjukkan Kaleb sebagai pribadi yang setia pada Tuhan. Bahkan, setelah usianya menginjak 85 tahun, kesetiaannya tetap tidak berubah (ayat 10-12).

Bahkan, meski usianya sudah lanjut, Kaleb tetap tidak takut untuk berperang. Bukan karena nekat, tetapi karena ia percaya pada pimpinan dan penyertaan Tuhan. Dan, kepercayaannya itulah yang menjadi kekuatannya (ayat 11).

Melihat hal ini, tidak heran kalau Tuhan memberkati Kaleb dengan luar biasa. Ia mampu mengalahkan orang-orang Enak, dan memperoleh Hebron sebagai milik pusakanya sampai bertahun-tahun kemudian (ayat 13-14). Bahkan, Tuhan juga memberikan keamanan dan kedamaian di tanah Hebron (ayat 15).

Jadi, kesetiaan, itulah yang menjadi kunci kesuksesan Kaleb. Pertanyaannya kini, apakah kita setia kepada Tuhan?

Menyatakan komitmen untuk setia adalah hal yang mudah, tetapi memegang teguh komitmen itu bukan perkara yang mudah. Karena menjadi pribadi yang setia, kita harus memiliki beberapa hal.

Pertama, kepercayaan pada kuasa Tuhan. Kesetiaan Kaleb kepada Tuhan dilandasi oleh kepercayaannya pada kuasa Tuhan.

Ketika Musa mengutus 12 orang pengintai ke Kanaan, 10 orang di antara mereka kembali dengan berita yang mengecilkan hati. Hanya Kaleb dan Yosua yang tetap percaya kepada Tuhan meskipun mereka melihat kenyataan yang sama dengan apa yang dilihat oleh 10 orang rekan mereka (ayat 7-8; baca Bilangan 13-14).

Kepercayaan inilah yang membuat mereka memegang teguh komitmen mereka untuk mengikut Tuhan seumur hidup mereka.

Apakah kita percaya kepada Tuhan? Apakah kita percaya kalau Tuhan mampu menolong kita saat kita menghadapi kesulitan karena iman kita? Apakah kita percaya kalau Tuhan pasti akan menolong kita dan memberikan jalan keluar untuk setiap permasalahan yang kita hadapi?

Kedua, totalitas atau sepenuh hati. Kesetiaan menuntut totalitas atau mengikut Tuhan dengan sepenuh hati. Tidak boleh ada yang lain, yang kita tempatkan sebagai “the number ONE” dalam hidup kita.

Dalam Keluaran 20:3, Tuhan melarang kita untuk memiliki allah lain dalam hidup kita. Dalam Matius 6:24, Tuhan Yesus pun mendorong kita untuk memilih kepada siapa kita akan mengabdikan hidup kita.

Sama seperti Kaleb, kita harus menjadikan Tuhan sebagai “the number ONE” dalam hidup kita, maka kita akan dimampukan untuk melakukan kehendakNya dengan setia.

Rabu, 28 November 2007

2 Petrus 1:16-20 (Nopember 29, 2007)


“Di mana kebenaran diberitakan, pasti ada penyesatan.” Salah satu buktinya tercatat di dalam sejarah Kekristenan, di mana ada banyak ajaran sesat yang berkembang di tengah-tengah umat Tuhan dengan kedok “kebenaran firman Tuhan”.

Fenomena ini, sebenarnya, tidak akan menimbulkan masalah, apabila orang-orang Kristen memegang teguh iman mereka dan memahami dengan baik kebenaran yang mendasari iman mereka.

Tapi, pada kenyataannya, tidak banyak orang-orang Kristen yang memiliki pemahaman yang baik tentang firman Tuhan. Akibatnya, tidak sedikit yang tersesat dalam kebenaran-kebenaran yang palsu.

Berbeda dari mereka yang tersesat dalam kepalsuan, Petrus tidak tertipu oleh “dongeng-dongeng isapan jempol” (1:16) yang berkembang pada saat itu. Karena ia telah menyaksikan sendiri kebesaran, kehormatan, dan kemuliaanNya (1:17-18), dan semua itu diteguhkan firman Tuhan yang telah disampaikan oleh para nabi (1:19).

Kita mungkin tidak dapat menyaksikan secara langsung kebesaran, kehormatan dan kemuliaanNya sama seperti Petrus. Tapi apa yang dinyatakan oleh firman Tuhan ‘cukup’ untuk memperkokoh iman kita. Karena itu, Petrus menasihati supaya kita memperhatikan dan mempelajari firman Tuhan dengan baik dan benar (1:19b-21).

Namun, saat ini, banyak orang Kristen yang merasa ‘tidak cukup’ hanya dengan firman Tuhan. Lalu mereka menambahnya dengan pengalaman-pengalaman iman yang sifatnya supranatural, seperti mujizat-mujizat, pengalaman ke surga dan neraka, berbahasa roh, dst.

Tanpa sadar, mereka menyatakan bahwa firman Tuhan saja tidak cukup, harus ada pengalaman-pengalaman rohani yang melengkapinya. Dan, tanpa sadar, meletakkan pengalaman rohani sebagai standar kebenaran, menggeser firman Tuhan.

Kenyataan ini sangat menyedihkan. Karena orang-orang seperti itu tidak menyadari kalau mereka sedang dibuai oleh penyesatan-penyesatan model baru, yang bernuansa Kristiani. Padahal, cara seperti ini, yakni dengan menggunakan ayat-ayat firman Tuhan, pernah digunakan oleh Iblis untuk mencobai Tuhan Yesus (Matius 4:6). Karena itu, pemahaman yang benar tentang firman Tuhan sangat penting dan tidak boleh diabaikan, dan harus dilengkapi dengan ketaatan kepada Tuhan (Yakobus 1:22-25).

Bukan berarti kesaksian iman orang lain tidak penting. Tapi, itu bukanlah yang terpenting dalam pertumbuhan iman kita. Study Alkitab dengan benar itulah yang terpenting. Tanpa memahami dan melakukan firman Tuhan dengan benar, kita tidak akan bertumbuh dengan benar di dalam Tuhan.

Semoga kebenaran ini mendorong kita untuk ‘bergairah’ mempelajari dan melakukan firman Tuhan.

Sungut-sungut (1)

“Aduh…kenapa sih hujan?”; “Aduh, panas buanget….”; “Kerja lagi, kerja lagi (dengan nada malas, red.)”
Kalimat-kalimat di atas sudah sering banget kita ucapkan, ato keluar dari mulut kita. Seakan “sungut-sungut/mengeluh” sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita ….
Pertanyaannya, apakah, sebagai anak-anak Tuhan, kita boleh mengeluh? Buat ngejawab pertanyaan ini, kita musti baca ‘n renungin Bilangan 11:1-3.
Pada ayat 1 ditulis, “Pada suatu kali bangsa itu bersungut-sungut di hadapan Tuhan tentang nasib buruk mereka…”
Gak ada keterangan sedikitpun tentang apa yang bikin orang Israel bersungut-sungut… Tapi kalo kita bandingkan dengan perikop-perikop lain yang juga menceritakan tentang Israel dan keluhannya, kita bakal nemuin alasan yang sama yakni karena mereka nggak tahan dengan perjalanan berat yang sedang mereka jalani. Karena itu, berulangkali mereka menyalahkan Tuhan sebagai aktor di balik semua ini (baca Keluaran 16:3; 17:3)
Hal ini tentu saja sangat aneh. Karena kalo kita baca Keluaran 2:23-25, jelas sekali, Israel yang meminta Tuhan bebasin mereka. Tapi, sekarang, mereka mengkambing-hitamkan Tuhan. Gak heran, kalo Tuhan marah dan menghukum mereka.
Kadangkala, saya bisa membayangkan betapa pusingnya Tuhan ngeliat tingkah polah kita…
Kalo doa kita nggak dikabulin, kitanya marah. Tapi, kalo dikabulin ‘n muncul masalah, kita juga marah ‘n nyalahin Tuhan. Nggak heran, kalo Tuhan pusing mikirin kita.
Tapi, untungnya, Tuhan kita sangat sabar dan penuh kasih sayang. Dia selalu memikirkan yang terbaik buat kita. Karena itu, tidak jarang, Tuhan gak kabulin doa kita. Bukan karena Dia tidak sayang. But because HE knows what the best for us.
Karena itu, jangan mengeluh. Karena mengeluh sama artinya, kita menyalahkan Tuhan. Sebaliknya, belajarlah bersyukur dan yakin bahwa Tuhan selalu kasih yang terbaik buat anak-anakNya (Matius 7:11).

Sungut-sungut (2)

Perikop ini tidak menjelaskan alasan mereka bersungut-sungut. Namun, saya yakin, keluhan ini muncul karena ada ketidakpuasan terhadap apa yang telah Tuhan berikan kepada mereka, entah makanan, hal-hal lainnya.
Ss, ketidakpuasan ini sangat wajar, apabila Tuhan tidak memberikan apapun buat mereka, dan membiarkan mereka menderita.
Tapi, masalahnya, Tuhan telah memberikan segala apa yang mereka butuhkan. Mereka minta makanan, Tuhan berikan Manna (Keluaran 16). Mereka minta air, Tuhan menyediakannya di Masa dan Meriba (Keluaran 17:1-7). Mereka butuhkan perlindungan, Tuhan berikan kemenangan saat Amalek menyerang (Keluaran 17:8-16).
Jadi, sangat aneh, kalau mereka merasa tidak puas dengan apa yang telah Tuhan berikan.
Namun, hal ini jadi tidak aneh, kalau orang-orang Israel ini punya mental ‘tuan’ yang meminta terus dilayani, tanpa mau melayani.
Padahal, sebagai umat Tuhan, mereka belum memberikan, atau melakukan apapun buat Tuhan. Tapi, mereka terus menerus menuntut Tuhan melakukan apa yang mereka inginkan.
Ss, ternyata mentalitas seperti ini masih ada sampai saat ini. Ada banyak orang Kristen yang menuntut tanpa pernah menunaikan tanggung jawab mereka sebagai umat Tuhan.
Ketika Tuhan tidak memberi apa yang mereka inginkan, mereka marah. Tapi, kalau Tuhan meminta mereka melakukan sesuatu, seribu alasan keluar demi menghindari permintaan tersebut.
Sungguh sangat ironis. Semoga kita segera sadar dan mau belajar untuk taat melakukan kehendak Tuhan dengan penuh sukacita.

Sungut-sungut (3)

Alasan yang ketiga mengapa kita tidak boleh bersungut-sungut adalah: Sungut-sungut merupakan salah satu bentuk penolakan terhadap otoritas Tuhan.
Ketika Israel bersungut-sungut, secara tidak langsung, mereka pun mempertanyakan kepemimpinan Tuhan. Karena mereka merasa Tuhan tidak dapat memimpin mereka dengan baik. Sehingga mereka menderita.
Mereka tidak sadar, kalau pemimpin yang baik bukanlah pemimpin yang memberikan semua yang diinginkan oleh pengikutnya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memikirkan apa yang terbaik untuk para pengikutnya.
Bacalah Yeremia 29:11, sebelum Anda menilai apakah Tuhan adalah pemimpin yang baik atau tidak.
Kalau Anda menganggap Tuhan sebagai pemimpin yang baik, serahkan hidup Anda kepada Tuhan dan belajarlan taat pada pimpinanNya.
Pertanyaannya, siapakah pemimpin dalam hidup Anda? Tuhan, materi, pekerjaan, ambisi? Atau apa?
Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh pemazmur, “Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak” (Mazmur 37:5)
Google
WWW Blog ini