Jumat, 25 Januari 2008

Rasul Petrus: Refleksi Seorang Murid Kristus


“Spontan dan tulus, namun tidak konsekuen.” Tiga karakter inilah yang mewakili pribadi Petrus.
Spontanitasnya nampak saat ia meresponi setiap perkataan Tuhan Yesus. Bagaimana ia dengan cepat berucap atau berbuat, tanpa berpikir panjang, saat Tuhan Yesus berbicara, bertanya atau memintanya melakukan sesuatu.
Salah satu contohnya, saat Tuhan menyatakan bahwa waktuNya di dunia semakin singkat, Petrus segera menarik Tuhan Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa engkau” (Matius 16:22).
Karakter inilah yang menjadi ciri khas Petrus, dan, oleh sebagian orang, dianggap sebagai salah satu kelebihan Petrus. Karena, di balik karakter ini, terdapat ketulusan bukan kemunafikan.
Berbeda dari kebanyakan orang, Petrus selalu menyatakan apa yang ia pikirkan atau rasakan. Ia tidak pernah menutupi siapa dirinya, apa yang ia pikirkan dan rasakan.
Tidak heran, kalau kelemahan Petrus pun terpampang dengan jelas di dalam kitab-kitab Injil, yakni tidak konsekuen dengan apa yang ia pernah ucapkan.
Sebagai contoh, Petrus pernah berkata, “Biarpun mereka semua tergoncang imannya karena Engkau, aku sekali-kali tidak” (Matius 26:33). Tapi, apa yang terjadi, ia meninggalkan Tuhan Yesus saat pengawal-pengawal Bait Allah menangkap Tuhan Yesus (Matius 26:56b). Bahkan, ia tiga kali menyangkali Tuhan Yesus saat berada di halaman Bait Allah (Matius 26:69-75).
Tapi, puji Tuhan, kelemahan ini disertai oleh kesadaran untuk belajar dan berubah. Berbeda dari Yudas yang memilih untuk bunuh diri, Petrus bertobat saat Tuhan Yesus menemui dan memanggilnya kembali (Yohanes 21:15-19). Bahkan, ia terus melayani Tuhan sampai akhir hidupnya.
Apakah saat Tuhan memanggil kita kembali kepadaNya, kita menjawab panggilan itu sama seperti Petrus? Ingatlah seruan Yohanes Pembaptis, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Matius 3:2)

Temptation (Matius 4:1-11) - 3


“Jalan pintas”, sesuatu yang dicari oleh banyak orang, karena menjanjikan kemudahan dalam usaha menggapai tujuan. Tanpa menyadari bahwa jalan pintas menuntut pengorbanan yang tidak sedikit, termasuk pengorbanan iman. Tidak semua, tapi sebagian besar “jalan pintas”, menuntut sesuatu, dan, tidak jarang, kita harus berkompromi dengan dosa.
Salah satu contohnya dialami oleh Tuhan Yesus (Matius 4:8-10).

Pemahaman Alkitab
Filipi 2:5-8 menyatakan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
Bukan perkara yang mudah, hidup tak memiliki apapun setelah sekian lama memiliki segalanya. Tidak heran, kalau orang-orang seperti ini menjadi sasaran empuk dari Iblis, termasuk Tuhan Yesus.
Ayat 8 menyatakan bahwa Iblis membawa Tuhan Yesus ke atas gunung yang sangat tinggi dan menunjukkan kepadaNya semua kerajaan dunia dan kemegahannya. Lalu Iblis pun menawarkan untuk memberikan segalanya, asalkan Tuhan Yesus mau menyembahnya.
Sebuah tawaran yang kelihatannya menggiurkan, namun melukiskan sosok Iblis yang sebenarnya, yakni sebagai pendusta. Dalam Lukas 4:6, ia berkata kepada Tuhan Yesus bahwa semua yang ada di dunia ini beserta dengan kemuliaannya adalah miliknya, dan ia berhak memberikannya kepada siapapun yang ia inginkan.
Padahal, kita semua tahu bahwa semua yang ada di dalam dunia adalah milik Tuhan, bukan Iblis. Tapi, itulah Iblis, demi memperoleh apa yang ia inginkan, cara apapun ia gunakan. Dan, tanpa kita sadari, kita telah terjebak dalam kesalahan yang sama. Demi memperoleh apa yang kita inginkan, cara apapun akan kita gunakan, dan berapa banyak pengorbanan yang dibutuhkan, akan kita berikan.
Namun, Tuhan tidak terjebak dalam tipu muslihat Iblis. Ia tahu ‘jalan’ yang akan Ia lalui sangat sulit, tapi itu tidak mendorongnya mengambil ‘jalan’ yang mudah. Karena Ia tahu, saat Ia memilih ‘jalan’ yang mudah, saat itulah Ia telah jauh dari Bapa.
Sebaliknya, apabila Ia mengambil ‘jalan’ yang sulit, Ia akan memperoleh segalanya. Selain hubunganNya dengan Bapa tetap terjaga, Ia akan dipimpin dan ditolong Bapa untuk menyelesaikan misiNya datang ke dalam dunia.
Karena itu, Tuhan Yesus menolak tawaran Iblis dan berkata, “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (ayat 10)
Tuhan mampu menolak tawaran Iblis, bagaimana dengan kita?

Refleksi :

  1. Apakah, selama ini, kita sering menggunakan ‘jalan pintas’ untuk memperoleh apa yang kita inginkan?
  2. Apakah saat ‘jalan pintas’ itu menuntut pengorbanan iman, kita akan melakukannya?

Temptation (Matius 4:1-11) - 2


Berbicara adalah perkara yang mudah, tetapi melakukan apa yang kita katakan tidaklah sama. Terbukti, dalam banyak kesempatan, kita tidak melakukan apa yang telah kita katakan.
Namun, kita tidak perlu berkecil hati, karena fakta ini bukan hanya terjadi pada diri kita, tetapi dialami hampir oleh semua orang. Sehingga, secara umum, orang tidak lagi mempercayai sebuah pernyataan lisan, dan selalu menuntut ada pernyataan tertulis, hitam di atas putih.
Keraguan seperti ini sangatlah wajar, melihat kenyataan yang ada. Firman Tuhan pun mengatakan, “Orang yang tak berpengalaman percaya kepada setiap perkataan, tetapi orang yang bijak memperhatikan langkahnya” (Amsal 14:15) untuk mengingatkan kita agar bijaksana dalam memilah perkataan yang benar dan yang salah, yang bisa dipegang dan yang tidak bisa dipegang.
Namun, tanpa kita sadari, kita tidak hanya meragukan apa yang dikatakan oleh orang-orang di sekitar kita, tetapi kita juga meragukan apa yang telah difirmankan oleh Tuhan. Dan, keraguan inilah yang sering dipakai oleh Iblis untuk merusak relasi kita dengan Allah.
Tuhan Yesus memahami hal ini. Karena itu, Ia mengingatkan kita supaya kita tidak mempertanyakan atau meragukan apa yang telah Tuhan firmankan, karena Tuhan pasti akan menggenapi setiap firmanNya.

Pemahaman Alkitab
Ss, setelah gagal menjebak Tuhan Yesus, Iblis pun merubah strateginya dengan mengutip Mazmur 91:11-12. Dalam Mazmur 91, Tuhan berjanji akan melindungi umatNya dari bahaya (Mazmur 91:9-13).
Iblis tahu itu, dan ia meminta Tuhan Yesus untuk terjun dari bumbungan Bait Allah dan membuktikan apakah Allah akan menatang Dia seperti yang telah difirmankanNya atau akan membiarkan Tuhan Yesus jatuh.
Sebenarnya, kedua pilihan itu tidak ada satupun yang baik. Karena kedua pilihan itu didasarkan pada keraguan apakah Allah akan menepati janjiNya atau tidak. Dan, apapun pilihan yang Tuhan Yesus ambil akan merusak hubunganNya dengan Allah, karena Tuhan Yesus telah meragukan firman Allah.
Tuhan mengetahui hal itu. Karena itu, Ia mengutip Ulangan 6:16, “Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” (ayat 7). Tujuannya, mengingatkan kita supaya kita senantiasa percaya dan memegang teguh janji-janji Allah (Roma 15:4; Kolose 1:23), karena Tuhan yang menjanjikannya adalah Allah yang setia (2 Timotius 2:13; Ibrani 10:23), yang senantiasa akan menepati setiap firmanNya (Nehemia 9:8; 2 Petrus 3:9).

Refleksi :
Apakah kita sungguh-sungguh percaya pada janji-janji Tuhan?

Temptation (Matius 4:1-11) - 1



Apa tujuan hidup kita? Untuk apa kita bekerja dan sekolah? Ada seorang teman yang mengatakan (dengan bercanda) bahwa ia bekerja demi sesuap nasi dan segenggam berlian. Mungkin jawaban itu hanya sebuah guyonan, tapi canda itu melukiskan kenyataan pada saat ini, di mana semua orang hidup hanya demi memuaskan kebutuhan, keinginan, bahkan hawa nafsunya. Dan, tidak jarang, demi itu semua mereka rela mengorbankan banyak hal yang sebenarnya jauh lebih penting dan jauh lebih berharga.
Seorang suami rela mengorbankan keluarganya demi memperoleh kesuksesan dalam karir. Seorang ayah rela membuang anaknya yang lahir dalam keadaan cacat demi menyelamatkan nama baik dan reputasi. Seorang anak tega menyakiti orang tuanya demi memperoleh apa yang ia inginkan. Dan masih ada banyak lagi.
Satu hal yang menjadi perlu kita renungkan bersama: Apakah semua itu membuat hidup kita berarti? Ataukah sebaliknya, semua itu membuat kita kehilangan arti hidup?
Dalam Matius 4:1-4, Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa ada yang jauh lebih penting, jauh lebih berharga, dari hanya sekedar mengejar hawa nafsu, keinginan dan kebutuhan, yakni melakukan apa yang Allah inginkan (v 4).

Pemahaman Alkitab
Setelah Tuhan Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, Roh Allah membawanya ke padang gurun supaya Ia dapat mempersiapkan diri sebelum memulai perjalanan dan pelayananNya. Karena itu, selama 40 hari – 40 malam Tuhan Yesus berdoa dan berpuasa (v 2).
Setelah 40 hari – 40 malam Ia berpuasa, Tuhan pun merasa lapar (v 2). Sama seperti kita, sebagai manusia, Tuhan pun membutuhkan makanan. Saat itulah, Iblis datang dan mencobai Dia.
Iblis berkata, “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti” (v 3).
Saya yakin ‘mengubah batu menjadi roti’ bukanlah perkara sulit buat Tuhan Yesus. Bukankah Ia yang menciptakan alam semesta (Kejadian 1). Kalau saat Israel mengembara di padang guru, Ia mampu mengeluarkan mata air dari gunung batu atau mengubah air yang rasanya pahit menjadi manis, mengubah batu menjadi roti hanya masalah kecil.
Namun, Tuhan ingin menekankan sesuatu yang lebih esensi. Tuhan ingin mengajarkan kepada kita bahwa arti hidup tidak sedangkal yang dipikirkan oleh banyak orang, yakni memuaskan keinginan ‘perut’. Sebaliknya, ada sesuatu yang jauh lebih penting, yakni melakukan kehendak Tuhan.
Bukan berarti memenuhi isi perut tidak penting. Namun, kalau masalah perut yang menjadi tujuan hidup kita, maka kita meleset dari tujuan hidup yang telah Allah tetapkan untuk kita.
Tuhan menciptakan kita bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kita. Tuhan menciptakan kita untuk melayani Dia, memuliakan Dia (baca Kejadian 2:15-17; Yeremia 1:5). Karena itu, hidup kita baru berarti, atau punya nilai, kalau kita mampu memenuhi tujuan itu.

Refleksi :
  1. Apa tujuan hidup kita selama ini?
  2. Apakah kita sudah memahami misi yang telah Tuhan rencanakan untuk kita?
  3. Sudahkah kita melakukan misi itu dengan setia?

Rabu, 16 Januari 2008

Kemarahan (I) : Refleksi Seorang Pemimpin

Beberapa waktu yang lalu, seorang hamba Tuhan senior memberi sebuah nasihat yang sangat berharga. Beliau mengatakan bahwa saat kita berada dalam keadaan marah, sebaiknya kita tidak membuat keputusan apapun, karena tidak jarang keputusan itu sebuah keputusan yang salah.
Nasihat ini sangat tepat, terbukti banyak pemimpin yang salah dalam mengambil keputusan bukan karena mereka tidak pandai atau bijaksana, tetapi karena mereka membiarkan diri mereka dikuasai oleh kemarahan. Akibatnya, keputusan mereka bukan keputusan yang dibuat berdasarkan akal sehat, tetapi berdasarkan emosi sesaat. Firman Tuhan menegaskan hal ini, "Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan" (Amsal 14:29).
Bukti dampak negatif kemarahan terhadap pengambilan keputusan bisa kita lihat pada peristiwa Kain dan Habel (Kejadian 4:1-16). Ketika Kain melihat Tuhan tidak mengindahkan korbannya, ia marah kepada Habel dan memutuskan untuk membunuh Habel. Meskipun Tuhan telah mengingatkannya, tetapi kemarahan telah membutakan hati Kain. Sehingga terjadilah pembunuhan terhadap Habel.
Dari kisah ini, kita bisa menyimpulkan bahwa saat kita dikuasai oleh kemarahan, jangan sampai kita mengambil sebuah keputusan. Sebaliknya, mari kita miliki kesabaran, supaya keputusan-keputusan yang kita ambil tidak salah.

Sabtu, 05 Januari 2008

Kerendahan Hati : Refleksi Seorang Pemimpin

Menjadi seorang pemimpin yang rendah hati, ternyata bukan perkara yang mudah. Mengingat posisi kita sebagai sosok yang dihormati dan diteladani, tidak jarang membuat kita terlena dan enggan untuk kehilangan semua itu. Apalagi, kalau posisi itu sudah kita nikmati bertahun-tahun lamanya.
Hal ini membuat saya menyadari betapa sulitnya 'mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba' (Filipi 2:5-8). Dan, tidak heran, kalau Tuhan meninggikan orang-orang yang mampu 'mengosongkan diri' sama seperti Tuhan Yesus.
Namun, sulit bukan berarti mustahil... Kita tetap bisa menjadi seorang Pemimpin yang rendah hati, selama kita selalu waspada dan menjaga hati kita supaya tidak terlena oleh semua penghormatan yang kita terima. Kita harus ingat bahwa hanya Tuhan yang layak dihormati dan dilayani. Hanya Tuhan yang layak ditinggikan dan dimuliakan.
Saya ingat syair sebuah lagu Sekolah Minggu yang berkata:
"Dia harus s'makin bertambah, ku harus s'makin berkurang
Nama Yesus saja disembah, ku di tempat paling b'lakang
Bila Yesus ditinggikan dan salibNya dib'ritakan
Pasti 'kan menarik semua orang datang kepadaNya s'karang"
Semoga kita semua ditolong Tuhan untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang rendah hati... Gbu
Google
WWW Blog ini