Kamis, 23 Agustus 2012

Adopsi (Galatia 4:1-11)

Apa yang Saudara pikirkan saat mendengar tema tersebut? Kemungkinan, ada beberapa orang yang mengernyitkan dahi mereka saat mendengar tema tersebut.
Reaksi tersebut sangat wajar. Sebab, bagi beberapa orang, kata tersebut memiliki konotasi yang negatif, atau yang tidak menyenangkan. Karena berbagai pemberitaan, atau cerita, tentang hubungan orang tua dan anak adopsi yang tidak terjalin dengan baik. Misal: berita tentang orang tua yang menyakiti anak-anak yang diadopsinya; atau berita tentang anak-anak yang tidak menghargai jerih lelah kedua orang tua yang telah mengadopsi dan membesarkan mereka.
Namun, apakah Saudara tahu bahwa kata “adopsi” digunakan di dalam Alkitab untuk menggambarkan hubungan yang dibangun oleh Tuhan dengan orang-orang percaya.

Dalam Galatia 4:3-5, firman Tuhan berkata: “Demikian pula kita: selama kita belum akil balig, kita takluk juga kepada roh-roh dunia. Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak.
Dalam Alkitab versi International Standard Version (ISV), frasa “supaya kita diterima menjadi anak” diterjemahkan “so that we might receive adoption as his children” (supaya kita dapat diadopsi sebagai anak-anak-Nya).
Ayat ini mengingatkan bahwa, pada awalnya, kita adalah seorang hamba. Bahkan, kita menghambakan diri kepada roh-roh dunia (Galatia 4:8). Namun, karena kasih-Nya, Tuhan mau mengangkat (mengadopsi) kita, sehingga kita menjadi anak-anak Allah. Jadi (kita perlu menggarisbawahi hal ini, red.) bukan karena, di mata Tuhan, kita dinilai layak untuk menjadi anak-anak-Nya. Tetapi, karena Tuhan mengasihi kita, maka Ia menebus kita, dan mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya (Yohanes 3:16; Efesus 2:8-9).

Lebih jauh, kalau kita perhatikan perikop ini dengan seksama, ada beberapa hal yang menarik, yang dapat kita pelajari.
Pertama, dalam Galatia 4:7 tertulis: “Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak…” Ayat ini menegaskan jati diri kita yang lama, yakni sebagai hamba (yun, doulos : slave atau budak). Pada saat itu, kedudukan seorang hamba, atau budak, sama dengan binatang, atau harta benda, yang tidak ada nilainya, dan ada hanya untuk kepentingan majikannya.
Penggunaan kata ini mengingatkan kita, bahwa ketika kita jatuh ke dalam dosa, kita kehilangan nilai hidup kita. Kita tidak lebih dari seonggok sampah. Namun, meski demikian, Tuhan tetap mengasihi kita. Bahkan, Tuhan rela memberikan hidup-Nya untuk menyelamatkan kita. Bukankah ini sesuatu yang luar biasa…?

Kedua, dalam kebudayaan Romawi, ketika seorang anak diadopsi oleh sebuah keluarga, maka keluarganya yang lama tidak memiliki hak apapun (lagi) atas anak tersebut.
Demikian pula dengan kita. Ketika kita diadopsi oleh Tuhan, dan menjadi anak-anak-Nya, maka (sebenarnya) iblis tidak lagi memiliki kuasa atas diri kita. Namun, ironisnya, kita tetap memilih untuk menghambakan diri kepada Iblis, dan hidup di dalam dosa (Galatia 4:9). Bahkan, kita menikmati kehidupan kita yang lama, dan menyia-nyiakan segala anugerah Tuhan untuk kita.
Karena itu, melalui firman Tuhan ini, marilah kita, sebagai orang-orang yang telah menerima anugerah dari Tuhan, belajar untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Sebagai wujud ungkapan syukur kita kepada Tuhan, dan agar hidup kita mempermuliakan nama Tuhan.
Google
WWW Blog ini