Kamis, 26 Februari 2009

Kutipan

"Keberanian ialah meyakini diri sendiri. Artinya, tak seorang pun bisa mengajari Anda." El Cordobes, matador Spanyol

Kamis, 19 Februari 2009

Yudas Iskariot: Refleksi Seorang Murid Kristus

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, tapi tidak semua orang mau dan mampu memperbaikinya. Salah satunya adalah Yudas Iskariot. Tapi, sejahat apapun tokoh ini, bukan berarti tidak ada yang dapat kita pelajari dari sosok ini. Paling tidak ada satu hal yang bisa kita pelajari dari tokoh ini, yakni jangan pernah “menjual” Tuhan Yesus demi memuaskan hawa nafsu dan keinginan pribadi.
Yudas dikenal sebagai seorang koruptor, karena sering mengambil uang kas yang ia kelola (Yohanes 12:6). Catatan ini menunjukkan karakter Yudas yang serakah, yang rela mengorbankan kepentingan orang lain demi keuntungan pribadi.
Tidak heran, ketika ia melihat kesempatan untuk memperoleh uang banyak, ia tidak membuang kesempatan itu. Ia menjual Tuhan Yesus, Gurunya, demi 30 keping perak. Jumlah yang kecil, tapi mampu memuaskan hawa nafsu Yudas yang besar.
Tapi, jangan terlalu cepat menghakimi Yudas. Karena, sedikit banyak, sosok ini mencerminkan diri kita, yang demi memuaskan hawa nafsu dan keinginan pribadi, rela “menjual” Tuhan Yesus. Misalnya, karena mengejar materi, atau demi karir, tidak mau melayani Tuhan.
Pertanyaannya, sampai kapan kita akan hidup seperti ini? Sampai kapan kita akan hidup untuk diri kita sendiri? Firman Tuhan mengingatkan kita bahwa semua kenikmatan duniawi hanya bersifat sementara, tapi berkat Tuhan bernilai kekal (2 Korintus 4:18). Karena itu, jangan “jual” Tuhan Yesus demi sesuatu yang fana. Sebaliknya, “bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal”(1 Timotius 6:12).

Andreas: Refleksi Seorang Murid Kristus

“Pekabar Injil yang pertama.” Sebutan ini sangat tepat diberikan kepada Andreas. Karena Andreaslah yang pertama kali, memberitakan tentang kedatangan Mesias kepada orang lain
Dalam Yohanes 1:35-42 dicatat: Setelah Andreas bertemu dengan Tuhan Yesus, ia bertemu dengan Petrus, saudaranya, dan berkata, “Kami telah menemukan Mesias.” Kemudian, Andres membawa Petrus bertemu dengan Tuhan Yesus, dan, sejak saat itu, Petrus menjadi murid Tuhan Yesus.
Berdasarkan catatan di atas, kita bisa menarik kesimpulan kalau Andreas bukanlah sosok yang egois, yang tidak peduli kepada orang lain. Sebaliknya, ketika bertemu dengan Petrus, ia membagikan berkat yang telah ia terima kepada Petrus. Sehingga Petrus pun bisa bertemu dengan Kristus dan menjadi muridNya.
Pribadi seperti Andreas sangat dibutuhkan pada jaman ini. Karena, saat ini, masih ada banyak orang yang belum mengenal dan merasakan kasih Kristus.
“Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?” (Roma 10:14)
Karena itu, saat ini, Tuhan bertanya kepada kita, “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?”
Apa jawaban kita ? Apakah kita akan berkata seperti Yesaya, “Ini aku, utuslah aku!” (Yesaya 6:8) ? Keputusan sepenuhnya ada di tangan Anda. Jangan sia-siakan panggilanNya.

Filipus : Refleksi Seorang Murid Kristus

Filipus bukanlah sosok yang istimewa. Ia bukan sosok seperti Petrus yang penuh semangat, atau sosok yang dekat dengan Tuhan Yesus seperti Yohanes. Sebaliknya, dari kitab-kitab Injil, kita menemukan gambaran sosok yang cenderung pesimis dan pasif. Dalam Yohanes 6:1-15, ketika Tuhan Yesus melihat orang banyak yang lapar, dan meminta pendapat Filipus, Filipus hanya menjawab, “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja (Yohanes 6:7).” Tidak ada solusi ia berikan.
Namun, ia adalah murid yang mengenalkan Bartolomeus kepada Tuhan Yesus (Yohanes 1:45-47). Selain itu, saat ada beberapa orang Yunani yang ingin bertemu dengan Yesus, ia tidak menolak mereka. Sebaliknya, bersama dengan Andreas, ia membawa mereka kepada Tuhan Yesus (Yohanes 12:20-22).
Sekali lagi, Alkitab menunjukkan sebuah kebenaran bahwa Tuhan berkenan memakai orang-orang yang “biasa” untuk karya keselamatan yang luar biasa.
Sama seperti Rahab yang dipakai Tuhan untuk menyelamatkan 2 orang pengintai (Yosua 2:1-18), atau seorang hamba perempuan yang dipakai Tuhan untuk mengarahkan Naaman kepada Nabi Elisa (2 Raja-raja 5:1-5), Allah memakai Filipus untuk menyelamatkan mereka yang belum mengenal Tuhan.
Saat ini, Allah juga mau memakai hidup kita untuk menyelamatkan orang-orang yang belum mengenal Dia. Pertanyaannya, apakah kita mau mempersembahkan hidup kita kepada Tuhan?
Untuk kita, Paulus berkata, “Janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran.” (Roma 6:13).

YAKOBUS anak Alfeus : Refleksi Seorang Murid Kristus

Tidak ada keterangan apapun tentang sosok ini, kecuali catatan bahwa ia adalah murid Yesus (Matius 10:3; Markus 3:18; Lukas 6:15; Kisah Para Rasul 1:13).
Mengapa Alkitab tidak menguraikan sosok ini dengan lebih detail? Apakah karena sosok ini dianggap kurang penting dibandingkan murid-murid lainnya? Tidak ada yang tahu dengan pasti mengapa penulis Alkitab tidak memberikan keterangan yang lebih banyak tentang tokoh ini.
Tapi, satu hal yang pasti, tidak ada tokoh Alkitab yang tidak penting di mata Tuhan. Setiap tokoh Alkitab, termasuk Yakobus anak Alfeus, memiliki peran yang sama pentingnya di dalam rencana keselamatan Tuhan. Tidak ada tokoh yang lebih penting dari tokoh lainnya.
Demikian pula dengan diri kita. Di mata Tuhan, setiap orang percaya adalah sama. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Perbedaannya hanya terletak pada peran dan tanggung jawab kita dalam rencana Tuhan (1 Korintus 12:27-30). Karena itu, tidak seorangpun boleh menyombongkan diri dan memandang rendah orang lain.
Sebaliknya, kita harus belajar untuk menghargai orang lain, meski, di mata kita, orang itu terlihat tidak penting atau tidak memiliki kelebihan apapun (1 Korintus 12:21-26).

SIMON, orang Zelot : Refleksi Seorang Murid Kristus

Tidak banyak keterangan tentang sosok ini, selain sebutan “orang Zelot”. Apa maksudnya orang Zelot? Zelot adalah sebuah partai radikal dan sangat revolusioner, yang berusaha mengusir penjajah Romawi dan memulihkan Kerajaan Israel dengan menggunakan pedang.
Berdasarkan keterangan ini, kita bisa menyimpulkan kalau Simon adalah anggota dari salah satu kelompok fanatik Yahudi.
Keberadaannya bersama dengan Matius, pemungut cukai, dalam satu lingkaran persekutuan pengikut Kristus sangat tidak biasa. Karena keduanya berasal dari dua kelompok yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Matius bekerja kepada pemerintah Romawi, sedangkan Simon berusaha menyingkirkan bangsa Romawi.
Namun, perbedaan inilah yang membuat persekutuan mereka terasa indah. Meski mereka berasal dari dua kelompok yang berbeda, dengan dua kepentingan yang berbeda, setelah mengenal Kristus, mereka mengesampingkan semuanya, bergandengan tangan sebagai satu keluarga, dan berusaha memuliakan nama Tuhan di tengah dunia ini.
Semangat yang sama, seharusnya, ada di dalam hati kita. Meski kita berasal dari latar belakang yang berbeda, tapi di dalam Tuhan, kita adalah satu keluarga yang memiliki panggilan yang sama, yakni memuliakan Tuhan di tengah dunia ini.
Karena itu, mari kita bergandengan tangan, melangkah bersama di dalam Tuhan, dan berusaha untuk memuliakan nama Tuhan dalam tiap langkah kehidupan kita.

Pimpinan Tuhan Tidak Pernah Salah (Keluaran 15:22-27)

Seandainya Anda diminta menggambarkan kehidupan, gambaran seperti apa yang terbayang dalam benak Anda?
Saya percaya pasti ada banyak jawaban, dan (mungkin) berbeda satu sama lain.
(Mungkin) ada yang membayangkan kehidupan seperti “naik sepeda”. Ada kalanya “naik”, ada kalanya “turun”. Ada kalanya bahagia, ada kalanya kita menghadapi duka.
(Mungkin) ada yang membayangkan kehidupan seperti “menulis pada selembar kertas.” Karena, kita punya sebuah pemahaman bahwa apa yang kita lakukan, pikirkan, katakan, dsb, seperti menulis di atas selembar kertas putih, menentukan hasilnya dan tidak dapat dihapus.
Dan sebagainya…
Semua penggambaran itu tidak ada yang salah, karena setiap penggambaran berasal dari cara kita memandang kehidupan itu sendiri.
Tapi, secara pribadi, kalau, saat ini, saya diminta menggambarkan kehidupan, maka saya akan menggambarkan kehidupan seperti “segelas kopi”.

Mengapa ? Secara pribadi, saya melihat kehidupan tidak dapat dipisahkan dari pergumulan, kesulitan, masalah, dsb. Kadangkala, hal-hal itu meninggalkan rasa “pahit” dalam hati sama seperti segelas “kopi”, yang ketika diminum, meninggalkan rasa pahit di lidah.
Tidak heran, kalau ada begitu banyak orang yang, kalau boleh memilih, menginginkan kehidupan yang lancer, tanpa masalah. Namun, kenyataannya, tidak ada seorangpun yang dapat menghindari yang namanya kesulitan/ pergumulan.

Namun, kita bisa membuat hidup yang terasa “pahit” itu, menjadi “manis”. Rahasianya adalah “terbuka pada pimpinan Tuhan”
Mari kita perhatikan perikop yang telah kita baca bersama.

Keluaran 15:22-27
Dalam perikop ini, Tuhan menyuruh bangsa Israel berjalan melewati padang gurun Syur. Setelah 3 hari berjalan di padang gurun, di bawah panas terik matahari, persediaan air mereka mulai habis. Tapi, tak satu pun mata air yang mereka temukan, sampai, akhirnya, Tuhan memimpin mereka ke Mara.
Dalam keadaan haus, lelah karena berjalan jauh, dan panas karena terik matahari, saya membayangkan, mereka berlomba-lomba memperebutkan air itu. Tapi, betapa kecewanya mereka, ternyata air itu tidak dapat diminum, karena rasanya pahit.
Bayangkan, dalam keadaan haus dan lelah, mereka memiliki harapan, tapi ternyata berakhir pada kekecewaan. Tidak heran, kalau mereka bersungut-sungut kepada Tuhan. Dan, bagi saya secara pribadi, hal itu sangat wajar…
Tapi, mereka tidak hanya sekedar bersungut-sungut. Mereka kecewa dan menyalahkan Tuhan, karena mereka merasa Tuhan telah membawa mereka kepada penderitaan, bukan kebahagiaan seperti yang telah Ia janjikan.
Pertanyaan: Benarkah Tuhan memimpin Israel kepada penderitaan? Sekilas memang terlihat demikian.
Namun, yang menarik, setelah mendengar sungut-sungut Israel, Tuhan mengubah air itu menjadi manis sehingga dapat diminum.
Sampai pada titik ini, saya belajar 2 hal, yakni :

1.Pimpinan Tuhan tidak pernah salah
Kenapa Tuhan memimpin Israel ke Mara? Alasan yang paling mendasar adalah karena Israel membutuhkan air.
Namun, ternyata ada alasan yang lain, yakni Tuhan ingin menguji umatNya: Apakah mereka tetap percaya saat menghadapi “kepahitan”? Percaya bahwa pimpinan Tuhan tidak pernah salah?
Ujian yang sama juga ditujukan kepada kita. Kadangkala, Tuhan terlihat memimpin kita ke arah yang salah, tapi di balik semua itu, sebenarnya, Tuhan sedang menguji kita untuk melihat apakah saat kita menghadapi pergumulan, kita tetap percaya kepadaNya?
Percaya bahwa pimpinan Tuhan tidak pernah salah, dan pasti ada maksud yang baik dalam setiap hal yang kita alami dalam hidup kita

2.Tuhan mampu mengubah kepahitan dalam hidup kita
Selain keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah memimpin kita ke arah yang salah, kita pun harus memiliki keyakinan bahwa Tuhan mampu mengubah kepahitan dalam hidup kita.
Tentu, bukan berarti hidup kita akan “lepas” dari masalah. Tapi, di tengah pergumulan-pergumulan hidup kita, kita tidak sendiri. Tuhan ada di sisi kita, memimpin dan menyertai kita.
Bahkan, bukan hanya memimpin, Tuhan juga memberikan jalan keluar, saat kita menghadapi jalan buntu. Tuhan juga memberi kekuatan, saat kita jatuh ke dalam keputusasaan.
Sehingga, apapun yang kita hadapi, kita tidak perlu khawatir/takut/cemas. Karena ada Tuhan di sisi kita. Keyakinan inilah yang akan membuat hidup kita terasa manis, meski kita menghadapi pergumulan seberat apapun.
Karena itu, apapun yang kita hadapi, jangan ragu untuk tetap percaya kepada Tuhan.

berita dan informasi online indonesia - www.okezone.com

"Menunjukkan kepada seseorang bahwa ia salah merupakan satu hal. Membuatnya mencapai kebenaran merupakan hal lain lagi." John Locke (1632-1704), filsuf Inggris

Minggu, 15 Februari 2009

Alkitab : Pandangan Tokoh-tokoh Sejarah

Sir Isaac Newton, one of the most brilliant minds of his century, remarked, “There are more sure marks of authenticity in the Bible than in any profane history.”

Britain’s Queen Victoria said of the Bible, “That book accounts for the supremacy of England.”

U.S. president Andrew Jackson stated, “That book, sir, is the rock on which our republic stands.” U.S. president George Washington commented,

“It is impossible to govern the world without God and the Bible.” France’s Napoleon observed, “The Bible is no mere book, but a Living Creature, with a power that conquers all who oppose it.”
Google
WWW Blog ini