Minggu, 21 Oktober 2012

Kesetiaan Terhadap Pasangan


Kata orang: “Kesetiaan tidak ternilai harganya.” Benarkah demikian ? Pada kenyataannya, saat ini, ada banyak orang yang “rela” menjual kesetiaannya demi sejumlah uang, atau tawaran-tawaran lain yang menggiurkan. Misal: Ada beberapa pemain sepakbola memilih untuk meninggalkan klub yang telah membesarkannya, karena iming-iming gaji yang lebih tinggi dan popularitas yang lebih baik.
Repotnya, fenomena ini tidak hanya muncul dalam dunia olah raga, atau karir, tetapi juga dalam keluarga. Sebab ada suami atau istri yang memilih meninggalkan pasangannya, karena alasan “ekonomi”, demi bersatu dengan orang lain yang menawarkan “ekonomi” yang lebih baik atau lebih mapan. Tentu ini menjadi sebuah keprihatinan, atau bahkan ancaman yang perlu diwaspadai terhadap keberlangsungan sebuah pernikahan.
Namun, di tengah realita ini, saya bersyukur sebab masih ada orang-orang yang mengagungkan nilai sebuah kesetiaan. Ketika merenungkan kesaksian hidup dari orang-orang tersebut, saya belajar beberapa kebenaran yang penting tentang kesetiaan, yakni :

1.Kesetiaan berhubungan erat dengan cinta kasih.
Ketika seseorang (benar-benar) mencintai seseorang, maka ia akan setia pada orang tersebut dalam situasi apapun sampai kapanpun. Sebaliknya, ketika seseorang, dengan mudah, menjual kesetiaannya, maka cinta kasihnya pun perlu dipertanyakan.

2.Kesetiaan adalah wujud cinta kita kepada Tuhan.
Dalam 1 Yohanes 4:20-21, firman Tuhan berkata :
“Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.”
Ayat tersebut menegaskan kepada kita bahwa ada hubungan antara kasih kita kepada Allah dan kasih kita kepada sesama. Kalau seseorang tidak dapat mengasihi sesamanya, maka ia tidak akan dapat mengasihi Allah. Sebaliknya, kalau seseorang dapat mengasihi sesamanya, ia dapat mengasihi Allah.
Ini juga berlaku dalam hal kesetiaan. Kalau kita setia kepada pasangan kita, maka kita dapat setia kepada Tuhan. Tetapi, kalau kepada pasangan kita yang kelihatan, kita tidak dapat setia, maka kita mudah berubah setia kepada Tuhan. Karena itu, kalau kita mengasihi Allah, maka kita perlu belajar untuk hidup dalam kesetiaan, termasuk dalam kehidupan pernikahan kita.

3.Kesetiaan menawarkan kebahagiaan yang sejati.
Siapa yang menjamin, kalau kita meninggalkan pasangan kita, dan menikah dengan orang lain, akan membuat kita lebih bahagia dari pernikahan sebelumnya. Pada kenyataannya, tidak sedikit orang-orang yang bercerai dan menikah kembali, pada akhirnya bercerai kembali. Hal ini membuktikan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada siapa kita menikah, tetapi bergantung pada bagaimana kita menghargai pernikahan itu. Kalau kita menghargai pernikahan kita, meski tidak sempurna, dan berusaha untuk menjaganya, maka kita akan menemukan kebahagiaan yang sejati.
Pertanyaan: “Apakah kita masih menjaga kesetiaan kepada pasangan kita ?”
Saya menyadari bahwa untuk menjaga kesetiaan bukanlah perkara yang mudah. Karena itu, agar kita dapat menjaga kesetiaan kita, kita perlu belajar untuk …
1.Membangun hubungan yang pribadi dengan Tuhan.
2.Memandang dan menghargai pasangan kita sebagai anugerah yang terbaik dari Tuhan, meskipun mereka tidak sempurna.
3.Membangun komunikasi yang baik dalam keluarga.
Google
WWW Blog ini