Minggu, 09 Desember 2007

Keteladanan: Refleksi Seorang Pendidik

Dalam proses pendidikan moral dan etika, figur yang bisa menjadi contoh atau teladan bagi para peserta didik sangat dibutuhkan. Hal ini ditegaskan oleh sejumlah pakar pendidikan.

Benyamin Bloom (1986) mengatakan bahwa dalam konteks pembudayaan pendidikan, contoh jauh lebih penting ketimbang serangkaian teori yang kering tanpa makna. Teori tetap penting, namun menjadi lebih mudah terjadi transformasi ketika ada contoh-contoh nyata yang dengan mudah diterapkan dalam kehidupan nyata.

J. Drost (1996) mengatakan bahwa dalam pendidikan yang membutuhkan perubahan perilaku peserta didik, keteladanan dari orang terdekat peserta didik sangat penting. Perilaku guru, kepala sekolah, wali kelas di sekolah, orang tua, tetangga dan tokoh masyarakat di rumah maupun pemimpin negara dalam konteks negara bangsa sangat diperlukan. Peserta didik memerlukan figur identifikasi untuk menemukan jati dirinya.

Ternyata, hal ini sudah disadari oleh Tuhan Yesus. Karena itu, Ia datang ke dalam dunia, selain untuk menebus manusia yang berdosa (main purpose), tetapi juga untuk memberikan teladan bagi kita, orang-orang percaya (baca Matius 11:29; 20:26-28). Tujuannya, tidak lain, supaya kita mampu mengaplikasikan nilai-nilai moral dan etika seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dengan baik.

Dalam Filipi 2:5, firman Tuhan berkata, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus…" Kata “menaruh pikiran dan perasaan” dalam bahasa aslinya memiliki pengertian berpikir seperti Kristus atau berperilaku seperti Kristus. Dengan kata lain, Kristus adalah figur yang harus kita ikuti dan teladani.
Hal ini ditegaskan oleh rasul Yohanes, yang berkata, “Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup”(1 Yohanes 2:6)

Ternyata, rasul Paulus pun menerapkan metode yang sama. Dalam 2 Timotius 3:10, ia berkata, “Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku.” Tidak heran, kalau pelayanannya menjadi berkat bagi banyak orang.

Dari kebenaran ini, kita, para pendidik, seharusnya menyadari dan mulai mengevaluasi diri: Apakah selama ini, kita sudah menjadi teladan yang baik bagi anak didik kita? Ataukah sebaliknya, apa yang kita ucapkan berkontradiksi dengan perilaku dan kehidupan kita?
Banyak pendidik yang mampu mengajarkan nilai-nilai moral dan etika dengan baik, tetapi tidak mampu memberikan contoh atau teladan yang nyata. Tidak heran, kalau banyak peserta didik yang memiliki pengetahuan tentang nilai moral dan etika, tetapi tidak mengalami transformasi hidup. Kesalahan tidak sepenuhnya terletak pada mereka, tetapi (sangat) mungkin ada pada diri kita. Karena itu, mari, sebagai pendidik, kita mawas diri dan belajar untuk hidup seturut dengan nilai-nilai moral dan etika seperti yang telah Tuhan Yesus ajarkan kepada kita

Tidak ada komentar:

Google
WWW Blog ini