Senin, 23 November 2015

Menang atas PENCOBAAN

Pendahuluan
Apa yang dimaksud dengan PENCOBAAN ?  Dalam Matius 6:9-13, Tuhan Yesus menggunakan kata πειρασμός yang bisa berarti : PENCOBAAN atau ujian terhadap kesetiaan, integritas, dan kebajikan manusia.

Dari pengertian tersebut, kita dapat mendefinisikan PENCOBAAN sebagai : ujian (dalam konotasi negatif) yang bersumber dari (a) Iblis (Ayub 2:7; Matius 4:1; Wahyu 2:10) dan (b) diri sendiri (Yakobus 1:14-15), terhadap kesetiaan, integritas dan kebajikan manusia.  Dan, hasil dari PENCOBAAN adalah …
1.       Kalau kita MENANG atas PENCOBAAN, maka kita membuktikan kesetiaan dan kebajikan, serta integritas kita di hadapan Allah dan manusia (baca Yakobus 1:2-4).
2.       Kalau kita KALAH dari PENCOBAAN berarti kita bukan hanya dinilai tidak baik dan tidak setia, atau kehilangan integritas kita di hadapan Allah dan manusia, tetapi kita juga terjerumus ke dalam dosa.
Karena itu, anak-anak Tuhan berusaha untuk MENANG atas PENCOBAAN, demi menunjukkan kesetiaan, kebajikan dan integritas hidup nya di hadapan Allah.

Namun, permasalahannya adalah : kita tidak mungkin MENANG atas PENCOBAAN.  Sebab …
1.       Kita DICOBAI oleh keinginan kita (Yakobus 1:14; ; baca Roma 7:18-24).  Padahal, “keinginan” adalah (a) bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita, (b) yang menggerakkan kehidupan kita. Tidak mungkin, kita membuang keinginan supaya kita tidak DICOBAI oleh keinginan kita.
2.       Kita DICOBAI oleh Iblis (Efesus 4:27; 6:11-13; 1 Petrus 5:8; baca Matius 4:1-11; Kis. 5:3) yang dikenal sebagai : bapa segala dusta (Yohanes 8:44).  Dan, dengan segala dustanya, Iblis berusaha untuk menjerumuskan kita ke dalam dosa.
Karena itu, dalam DOA BAPA KAMI, Tuhan Yesus mendorong kita untuk mengandalkan Tuhan dalam menghadapi berbagai PENCOBAAN dengan berkata : “… dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.)” (Matius 6:13).

Mengapa Tuhan mendorong kita untuk mengandalkan DIA ?
1.   Karena “... Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15).
2.       Karena “ … Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia” (1 Yohanes 4:4).
3.       Karena “Bapa-Ku … lebih besar dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa” (Yohanes 10:29).
4.    Karena “… Tuhan adalah setia. Ia akan menguatkan hatimu dan memelihara kamu terhadap yang jahat” (2 Tesalonika 3:3).
Dan, selama kita berjalan bersama dengan Tuhan, maka Tuhan tidak akan membiarkan kita mengalami PENCOBAAN yang melebihi kemampuan kita.  Bahkan, DIA akan memampukan kita, bukan hanya menanggung PENCOBAAN, tetapi MENANG atas PENCOBAAN (1 Korintus 10:13).

Karena itu, jangan menghadapi PENCOBAAN dengan kekuatan sendiri.  Tetapi hadapi PENCOBAAN bersama dengan Tuhan, maka DIA akan memampukan kita untuk MENANG atas PENCOBAAN.

How…?
1.       Matius 6:9, 13 - Memohon pertolongan Tuhan dalam DOA.
2.       Mazmur 119:9, 11 - Merenungkan firman Tuhan setiap waktu.
3.       1 Yohanes 5:4, 5 - Memegang teguh iman kepada Tuhan.

4.       Yakobus 4:7 - Tunduk dan taat kepada Allah

Minggu, 17 Mei 2015

Solusi GALAU (Mazmur 63)

Pendahuluan
Saat ini, para ahli memiliki berbagai sebutan untuk generasi muda (masa kini), yang dianggap sesuai (atau menggambarkan) karakteristik dari generasi muda (masa kini).  Beberapa di antaranya : generasi “X”, generasi “Y” (generasi millennium), generasi “Z”, generasi “iY”, dan sebagainya.

Tapi, dalam pandangan saya, sebutan yang paling tepat untuk generasi ini adalah : generasi “G” (generasi GALAU).  Karena…
  1. Generasi ini mudah merasa GALAU, khususnya saat menghadapi kesulitan atau pergumulan (dalam pekerjaan, study, relasi, dsb).
  2. Generasi ini menyukai hal-hal yang berbau GALAU, seperti : musik GALAU, warna-warna GALAU, dsb.
  3. Generasi ini suka mengekspresikan ke-GALAU-an mereka dengan berbagai macam cara, seperti : pasang status “tidak jelas”, suka menyanyikan lagu GALAU, dsb.


Apa itu GALAU ?
GALAU adalah situasi hati dan/atau pikiran yang kacau saat sedang menghadapi pergumulan, atau saat hidup tidak berjalan seperti yang diinginkan.

Yang menarik, meski perasaan GALAU muncul karena pergumulan, tapi (pada kenyataannya) banyak orang merasa GALAU karena hal-hal kecil, yang (sebenarnya) tidak penting untuk di-GALAU-kan.  Seperti : masalah jerawat, cuaca mendung atau panas, baju yang nggak matching, dsb.

Tapi, apapun penyebabnya, rasa GALAU menghapus sukacita dari hati kita.  Karena itu, pertanyaan : Apa yang kita harus lakukan supaya tidak GALAU dalam situasi apapun ?

Mazmur 63
Dalam Mazmur 63, pemazmur berbagi tips untuk mengatasi ke-GALAU-an, yaitu : membangun relasi dengan Tuhan.

Mengapa kita harus membangun relasi dengan Tuhan ?  Karena Tuhan adalah pribadi yang setia (Mazmur 63:4).  Dalam kesetiaan-Nya …
a.       Tuhan memuaskan kerinduan kita dengan hadir dalam hidup kita (Mazmur 63:2-3);
b.      Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita dalam suka maupun duka;
c.       Tuhan selalu merancang yang terbaik dalam kehidupan kita (Roma 8:28);
d.      Tuhan menolong, melindungi dan membela kita dari musuh-musuh kita (Mazmur 63:8-9);
e.      Tuhan menyerahkan nyawa-Nya demi membebaskan kita dari dosa (Yohanes 3:16).
Dan, karena kesetiaan-Nya, Tuhan selalu menepati janji-janji-Nya dalam kehidupan kita (2 Petrus 3:9) .

Kalau Allah yang setia hadir dalam kehidupan kita (sama seperti DIA hadir dalam kehidupan pemazmur), maka kita tidak perlu GALAU lagi.  Sebaliknya, kita harus memuji dan bersorak sorai bagi Allah yang setia (Mazmur 63:5-9).

Pertanyaan : Apakah kita percaya kepada Allah ?  Dan, apakah kita percaya kalau Allah hadir dalam kehidupan kita ?


Kalau kita sungguh-sungguh percaya, maka : apapun dan sebesar apapun pergumulan yang kita hadapi saat ini …
a.   serahkanlah semuanya kepada Tuhan.  Jangan lagi mengandalkan kekuatan sendiri, tetapi percayalah pada kekuatan Allah.
b.      carilah rencana Tuhan dalam kehidupan kita.  Karena, di balik semua pergumulan kita, Allah sudah merancang sedemikian rupa, supaya kita dapat menerima yang terbaik dari Allah.
c.       berjalanlah sesuai dengan pimpinan Allah.  Karena pimpinan Allah tidak pernah salah.

Kalau kita memiliki relasi yang intim dengan Allah, maka semua perasaan GALAU pasti dapat kita lalui.  Dan, hati kita akan dipenuhi oleh sukacita.

Selasa, 09 April 2013

Mengapa Hatimu Panas ?

Kejadian 4:1-15


Pendahuluan
Berbicara tentang kemarahan, saya menemukan beberapa kutipan yang menarik :
a. For every minute you remain angry, you give up sixty seconds of peace of mind (Ralph Waldo Emerson)
(Untuk setiap menit saat kamu dikuasai oleh amarah, kamu membuang 60 detik kesempatan untuk merasakan kedamaian)
b. Getting angry is actually punishing yourself with the mistakes of others
(Dikuasai oleh amarah sama seperti menghukum diri sendiri dengan kesalahan orang lain)
c. Anger is only one latter short of danger
(“Anger” [kemarahan] hanya berbeda satu huruf dengan “danger” [bahaya])
d. Holding on to anger is like grasping a hot coal with the intent of throwing it at someone else; you are the one who get burned (Buddha)
(Mempertahankan amarah sama seperti menggenggam sebuah batu yang panas dengan tujuan untuk melemparnya kepada orang lain; tetapi, sesungguhnya, kitalah yang terbakar)
e. Holding on to anger is like drinking poison and expecting the other person to die (Buddha)
(Memberi diri untuk dikuasai oleh amarah sama seperti meminum racun dan berharap orang lain yang akan meninggal)
f. Anger is what makes a clear mind seem clouded
(Amarah membuat pikiran yang jernih menjadi berkabut)
Kutipan di atas ditulis oleh orang yang berbeda-beda, tetapi dengan pesan yang sama, yakni: jauhilah amarah, karena amarah akan membawa dampak negative kepada diri kita.

Pembahasan
Namun, pesan ini memunculkan sejumlah pertanyaan :
a. Bukankah tertulis di dalam Alkitab, bahwa Tuhan pernah marah ? Bahkan, karena sangat marah, Tuhan menghukum manusia ? (Keluaran 4:14; Keluaran 32:7-14; Hakim-hakim 2:14; Markus 10:14; dst)
b. Bukankah manusia diciptakan dengan beragam emosi, salah satunya adalah amarah ? Kalau amarah bisa membawa dampak negatif, mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan emosi itu ? Sebaliknya, ketika Tuhan menciptakan manusia, termasuk dengan perasaan marah, bukankah Tuhan memandang ciptaan-Nya itu baik (Kejadian 1:31) ?

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, saya disadarkan bahwa :
a. Amarah adalah sesuatu yang manusiawi. Karena itu, merasa marah bukan sebuah dosa. Tetapi, amarah menjadi sebuah dosa, jika (1) didorong oleh alasan yang salah, (2) ditujukan kepada orang yang salah, (3) mendorong kita untuk bertindak salah, dan (4) membawa dampak negatif terhadap Tuhan, diri sendiri dan orang lain.
b. Meski terlihat sama, tapi ada perbedaan antara (1) amarah yang ditunjukkan oleh Tuhan, dan (2) amarah yang dirasakan dan ditunjukkan oleh manusia, yakni: pengaruh dosa. Dan, perbedaan inilah yang membuat kita menyebut: (1) amarah Tuhan sebagai amarah yang kudus, dan (2) amarah manusia, seringkali, tidak kudus.
Dan, perbedaan inilah yang ditunjukkan oleh kisah Kain dan Habel (Kejadian 4:1-15). Mari kita perhatikan bersama …

Sebagai sebuah catatan, sejak Sekolah Minggu, kisah Kain dan Habel diajarkan dengan penekanan pada persembahan mereka. Dan, banyak orang mengatakan bahwa persembahan itulah yang menjadi “akar” permasalahan antara Kain dan Habel, yang menyebabkan, pada akhirnya, Kain membunuh Habel.
Saya mengakui bahwa persembahan memang menjadi pemicu konflik antara Kain dan Habel. Namun, permasalahan yang sesungguhnya bukan persembahan, tetapi pengaruh dosa dalam kehidupan manusia, yang menyebabkan :
a. Tuhan tidak berkenan atas korban atau persembahan manusia.
b. Masalah korban atau persembahan itu, bergeser dari masalah spiritual menjadi masalah personal.
Itulah alasan penulis kitab Kejadian mencatat kisah ini setelah kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kejadian 3).

Jadi, melalui kisah Kain dan Habel, penulis ingin menggambarkan pengaruh dosa dalam kehidupan manusia, salah satunya dalam mempengaruhi perasaan marah yang, sebenarnya, sangat manusiawi.

Pendalaman Alkitab
a. Apa yang membuat Kain merasa marah ? Dalam Kejadian 4:3-5 ditulis bahwa Kain dan Habel memberi persembahan kepada Tuhan, tetapi Tuhan mengindahkan persembahan Habel dan tidak mengindahkan persembahan Kain.
Mengapa Tuhan tidak mengindahkan persembahan Kain ? Dalam Ibrani 11:4, firman Tuhan menyatakan bahwa: “Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain…”
Jadi yang membedakan keduanya adalah iman mereka. Dan, Tuhan memutuskan untuk mengindahkan persembahan seseorang atau tidak, berdasarkan iman orang tersebut.
b. Apakah Kain berhak untuk marah kepada Habel ? Jawabannya tentu tidak, karena Tuhan yang memutuskan untuk mengindahkan persembahan umat-Nya. Dan, meski Habel tidak memberi persembahan, atau memberi persembahan tidak pada waktu yang bersamaan, persembahan Kain tetap tidak diindahkan oleh Tuhan. Karena persembahan Kain tidak disertai dengan iman.
Namun, karena pengaruh dosa, menyebabkan Kain tidak dapat berpikiran jernih lagi. Sehingga, dengan alasan yang salah, Kain menumpahkan amarahnya kepada orang yang salah. Dan, karena didorong oleh amarah, pada akhirnya, ia melakukan tindakan yang salah, yakni membunuh Habel, adik kandungnya. Tindakan yang menyebabkan: (1) hatinya diliputi oleh perasaan bersalah, (2) Tuhan menjatuhkan putusan bersalah atas tindakan Kain, dan (3) keluarganya menderita karena tindakan Kain.

Aplikasi
Pertanyaannya kini, apa relevansinya bagi kehidupan kita ? Kisah ini mengajarkan kepada kita beberapa hal yang sangat penting.
a. Dosa memberi pengaruh negatif dalam seluruh aspek kehidupan kita, termasuk cara berpikir, perasaan, motivasi, dan sebagainya. Dan, karena pengaruh dosa, banyak orang, termasuk kita, sering membuat keputusan-keputusan yang salah, dan mengambil tindakan yang tidak tepat. Karena itu, kita harus membebaskan diri kita dari pengaruh dosa. Dan, satu-satunya jalan untuk memperoleh kebebasan itu adalah dengan pertolongan dan anugerah Tuhan Yesus. Karena, melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus telah mematahkan belenggu dosa. Sehingga setiap orang yang percaya dapat terbebas dari belenggu dosa, dan hidup sebagai orang yang merdeka.
b. Kalau kita sudah memperoleh kemerdekaan itu, jangan pernah memberikan diri kita (lagi) kepada dosa. Rasul Paulus pernah berkata: “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa…” (Galatia 5:13), melainkan untuk hidup dalam kebenaran.
c. Amarah bisa bersifat konstruktif maupun destruktif. Semua bergantung pada banyak aspek, seperti situasi, pikiran, respon, cara kita berkomunikasi, dan sebagainya. Namun, meski kita sudah berusaha bertindak dengan bijaksana, kita tidak dapat mengendalikan respon orang terhadap amarah kita. Dan, bagi kebanyakan orang, amarah, meski dengan tujuan yang baik dan alasan yang benar, tetap dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Karena itu, supaya niat baik dan tujuan kita tercapai, maka kita harus belajar untuk menjadi pribadi yang sabar, yang mampu mengendalikan amarah kita. Dan, kita membutuhkan pertolongan Roh Kudus, agar dapat mengendalikan amarah kita (Galatia 5:16-26). Karena itu, mintalah pertolongan Roh Kudus, dan ikutilah bimbingan-Nya. Maka kita akan dapat bertumbuh menjadi orang yang sabar, yang dapat mengendalikan amarah kita.

Minggu, 21 Oktober 2012

Kesetiaan Terhadap Pasangan


Kata orang: “Kesetiaan tidak ternilai harganya.” Benarkah demikian ? Pada kenyataannya, saat ini, ada banyak orang yang “rela” menjual kesetiaannya demi sejumlah uang, atau tawaran-tawaran lain yang menggiurkan. Misal: Ada beberapa pemain sepakbola memilih untuk meninggalkan klub yang telah membesarkannya, karena iming-iming gaji yang lebih tinggi dan popularitas yang lebih baik.
Repotnya, fenomena ini tidak hanya muncul dalam dunia olah raga, atau karir, tetapi juga dalam keluarga. Sebab ada suami atau istri yang memilih meninggalkan pasangannya, karena alasan “ekonomi”, demi bersatu dengan orang lain yang menawarkan “ekonomi” yang lebih baik atau lebih mapan. Tentu ini menjadi sebuah keprihatinan, atau bahkan ancaman yang perlu diwaspadai terhadap keberlangsungan sebuah pernikahan.
Namun, di tengah realita ini, saya bersyukur sebab masih ada orang-orang yang mengagungkan nilai sebuah kesetiaan. Ketika merenungkan kesaksian hidup dari orang-orang tersebut, saya belajar beberapa kebenaran yang penting tentang kesetiaan, yakni :

1.Kesetiaan berhubungan erat dengan cinta kasih.
Ketika seseorang (benar-benar) mencintai seseorang, maka ia akan setia pada orang tersebut dalam situasi apapun sampai kapanpun. Sebaliknya, ketika seseorang, dengan mudah, menjual kesetiaannya, maka cinta kasihnya pun perlu dipertanyakan.

2.Kesetiaan adalah wujud cinta kita kepada Tuhan.
Dalam 1 Yohanes 4:20-21, firman Tuhan berkata :
“Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.”
Ayat tersebut menegaskan kepada kita bahwa ada hubungan antara kasih kita kepada Allah dan kasih kita kepada sesama. Kalau seseorang tidak dapat mengasihi sesamanya, maka ia tidak akan dapat mengasihi Allah. Sebaliknya, kalau seseorang dapat mengasihi sesamanya, ia dapat mengasihi Allah.
Ini juga berlaku dalam hal kesetiaan. Kalau kita setia kepada pasangan kita, maka kita dapat setia kepada Tuhan. Tetapi, kalau kepada pasangan kita yang kelihatan, kita tidak dapat setia, maka kita mudah berubah setia kepada Tuhan. Karena itu, kalau kita mengasihi Allah, maka kita perlu belajar untuk hidup dalam kesetiaan, termasuk dalam kehidupan pernikahan kita.

3.Kesetiaan menawarkan kebahagiaan yang sejati.
Siapa yang menjamin, kalau kita meninggalkan pasangan kita, dan menikah dengan orang lain, akan membuat kita lebih bahagia dari pernikahan sebelumnya. Pada kenyataannya, tidak sedikit orang-orang yang bercerai dan menikah kembali, pada akhirnya bercerai kembali. Hal ini membuktikan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada siapa kita menikah, tetapi bergantung pada bagaimana kita menghargai pernikahan itu. Kalau kita menghargai pernikahan kita, meski tidak sempurna, dan berusaha untuk menjaganya, maka kita akan menemukan kebahagiaan yang sejati.
Pertanyaan: “Apakah kita masih menjaga kesetiaan kepada pasangan kita ?”
Saya menyadari bahwa untuk menjaga kesetiaan bukanlah perkara yang mudah. Karena itu, agar kita dapat menjaga kesetiaan kita, kita perlu belajar untuk …
1.Membangun hubungan yang pribadi dengan Tuhan.
2.Memandang dan menghargai pasangan kita sebagai anugerah yang terbaik dari Tuhan, meskipun mereka tidak sempurna.
3.Membangun komunikasi yang baik dalam keluarga.

Kamis, 23 Agustus 2012

Adopsi (Galatia 4:1-11)

Apa yang Saudara pikirkan saat mendengar tema tersebut? Kemungkinan, ada beberapa orang yang mengernyitkan dahi mereka saat mendengar tema tersebut.
Reaksi tersebut sangat wajar. Sebab, bagi beberapa orang, kata tersebut memiliki konotasi yang negatif, atau yang tidak menyenangkan. Karena berbagai pemberitaan, atau cerita, tentang hubungan orang tua dan anak adopsi yang tidak terjalin dengan baik. Misal: berita tentang orang tua yang menyakiti anak-anak yang diadopsinya; atau berita tentang anak-anak yang tidak menghargai jerih lelah kedua orang tua yang telah mengadopsi dan membesarkan mereka.
Namun, apakah Saudara tahu bahwa kata “adopsi” digunakan di dalam Alkitab untuk menggambarkan hubungan yang dibangun oleh Tuhan dengan orang-orang percaya.

Dalam Galatia 4:3-5, firman Tuhan berkata: “Demikian pula kita: selama kita belum akil balig, kita takluk juga kepada roh-roh dunia. Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak.
Dalam Alkitab versi International Standard Version (ISV), frasa “supaya kita diterima menjadi anak” diterjemahkan “so that we might receive adoption as his children” (supaya kita dapat diadopsi sebagai anak-anak-Nya).
Ayat ini mengingatkan bahwa, pada awalnya, kita adalah seorang hamba. Bahkan, kita menghambakan diri kepada roh-roh dunia (Galatia 4:8). Namun, karena kasih-Nya, Tuhan mau mengangkat (mengadopsi) kita, sehingga kita menjadi anak-anak Allah. Jadi (kita perlu menggarisbawahi hal ini, red.) bukan karena, di mata Tuhan, kita dinilai layak untuk menjadi anak-anak-Nya. Tetapi, karena Tuhan mengasihi kita, maka Ia menebus kita, dan mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya (Yohanes 3:16; Efesus 2:8-9).

Lebih jauh, kalau kita perhatikan perikop ini dengan seksama, ada beberapa hal yang menarik, yang dapat kita pelajari.
Pertama, dalam Galatia 4:7 tertulis: “Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak…” Ayat ini menegaskan jati diri kita yang lama, yakni sebagai hamba (yun, doulos : slave atau budak). Pada saat itu, kedudukan seorang hamba, atau budak, sama dengan binatang, atau harta benda, yang tidak ada nilainya, dan ada hanya untuk kepentingan majikannya.
Penggunaan kata ini mengingatkan kita, bahwa ketika kita jatuh ke dalam dosa, kita kehilangan nilai hidup kita. Kita tidak lebih dari seonggok sampah. Namun, meski demikian, Tuhan tetap mengasihi kita. Bahkan, Tuhan rela memberikan hidup-Nya untuk menyelamatkan kita. Bukankah ini sesuatu yang luar biasa…?

Kedua, dalam kebudayaan Romawi, ketika seorang anak diadopsi oleh sebuah keluarga, maka keluarganya yang lama tidak memiliki hak apapun (lagi) atas anak tersebut.
Demikian pula dengan kita. Ketika kita diadopsi oleh Tuhan, dan menjadi anak-anak-Nya, maka (sebenarnya) iblis tidak lagi memiliki kuasa atas diri kita. Namun, ironisnya, kita tetap memilih untuk menghambakan diri kepada Iblis, dan hidup di dalam dosa (Galatia 4:9). Bahkan, kita menikmati kehidupan kita yang lama, dan menyia-nyiakan segala anugerah Tuhan untuk kita.
Karena itu, melalui firman Tuhan ini, marilah kita, sebagai orang-orang yang telah menerima anugerah dari Tuhan, belajar untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Sebagai wujud ungkapan syukur kita kepada Tuhan, dan agar hidup kita mempermuliakan nama Tuhan.

Kamis, 05 Juli 2012

Mengagumi Allah

Baca: Mazmur 117

Kata “kagum” sering digunakan sebagai ekspresi saat kita menikmati sesuatu, dengan panca indera kita, yang (menurut kita) luar biasa. Misal: kita kagum saat melihat sebuah lukisan, atau mendengar alunan musi, atau mendengar seseorang yang luar biasa.

Pertanyaannya, “Apakah kita mengagumi Allah ?” Seharusnya, di dalam hati kita, muncul perasaan kagum kepada Allah, melebihi perasaan kagum kepada hal-hal yang lain. Sebab kita telah mengalami, mendengar, dan melihat betapa luar biasanya Allah. Namun ada banyak orang yang telah kehilangan kekaguman mereka kepada Allah. Alasannya antara lain …
Pertama, karena mereka menganggap ke-LUAR BIASA-an Allah sebagai sesuatu yang BIASA, yang tidak istimewa. Misal: saat mereka memandang sebuah pemandangan yang sangat indah, hati mereka tidak tergugah karena sudah berulangkali melihat pemandangan yang serupa; atau saat melihat matahari terbit, hati mereka tidak tergugah, karena mereka sudah ter-BIASA melihat hal itu setiap hari.
Kedua, karena mereka sedang menghadapi pergumulan yang sangat berat, sehingga pandangan mereka teralih dari Allah. Akibatnya, mereka terpuruk dalam keputusasaan, dan melupakan bahwa Allah yang LUAR BIASA (selalu) bersedia untuk menolong mereka.
Ketiga, karena mereka menjadikan jawaban doa sebagai ukuran ke-LUAR BIASA-an Allah. Mereka akan mengagumi Allah, apabila Allah menjawab doa mereka. Sebaliknya, ketika jawaban Allah tidak memenuhi harapan mereka, Allah menjadi BIASA di mata mereka. Padahal, apapun jawaban Allah, di baliknya tersimpan sebuah rencana ilahi yang LUAR BIASA, yang melebihi bayangan kita.
Keempat, karena mereka tidak meluangkan waktu untuk melihat karya Allah. Mata mereka telah dibutakan oleh berbagai kesibukan, sehingga mereka tidak dapat melihat betapa LUAR BIASA-nya Tuhan.
Dan, masih ada banyak alasan, kita kehilangan perasaan kagum kepada Allah.
Realita ini, membawa saya pada sebuah pertanyaan: “Apakah, saat ini, Allah masih mengagumkan ?”

Ketika merenungkan hal ini, saya tertarik dengan isi Mazmur 117: “Pujilah TUHAN, hai segala bangsa, megahkanlah Dia, hai segala suku bangsa! Sebab kasih-Nya hebat atas kita, dan kesetiaan TUHAN untuk selama-lamanya. Haleluya!” Melalui mazmur ini, kita bisa menarik 2 kesimpulan.
Pertama, melalui mazmur ini, sang pemazmur sedang menyatakan kekagumannya kepada Allah, dan mengajak semua bangsa untuk memegahkan Allah. Mengapa ? Karena pemazmur mengalami kasih dan kesetiaan Tuhan dalam kehidupannya. Dan, pemazmur yakin kasih dan kesetiaan Tuhan tidak akan berubah sampai selama-lamanya.
Kedua, pemazmur menyatakan hal itu, bukan karena hidupnya bebas dari masalah, ataua karena Tuhan mengabulkan semua doanya. Tetapi, karena ia mengimani dan mengalami kesetiaan Tuhan dalam situasi apapun. Dan, kesetiaan itu tidak akan berubah sampai kapan pun. Itulah yang membuat sang pemazmur merasa kagum kepada Allah.

Saya percaya kita setuju dengan pernyataan sang pemazmur, bahwa Tuhan tidak pernah berubah, dan kesetiaan-Nya tidak berkurang sedikitpun. Dan, satu hal yang LUAR BIASA, adalah kasih dan kesetiaan-Nya ditujukan kepada kita, mahluk ciptaan BIASA, yang telah mengecewakan Tuhan dengan ketidaktaatan kita. Namun, meski demikian, Tuhan tetap mengasihi kita.
Ironisnya, kebenaran ini sudah menjadi sesuatu yang BIASA bagi kita. Apalagi, bagi kita, yang sudah mengikut Tuhan bertahun-tahun lamanya. Akibatnya, kekaguman kita kepada Tuhan, sedikit demi sedikit, hilang. Dan, kita menaati kehendak-Nya karena terpaksa, bukan karena kekaguman kita kepada-Nya.
Karena itu, saat ini, saya ingin mengajak kita mengingat 2 hal, yakni: (1) Tuhan adalah pribadi yang LUAR BIASA, dan kasih-Nya yang LUAR BIASA ditujukan kepada kita; dan (2) kita (hanya) pribadi yang BIASA, tapi menerima kasih Tuhan yang LUAR BIASA.
Karena itu, mengucapsyukurlah kepada Tuhan. Lukiskan kekaguman kita kepada Tuhan melalui pujian dan kehidupan kita. Karena, sampai kapanpun, Allah senantiasa MENGAGUMKAN…!!!

Rabu, 13 Januari 2010

Kutipan

"I am not a perfect mother and i will never be.. You are not a perfect daughter and you will never be.. But, put us together and we will be the best mother and daughter we would ever be - Zoraida Pesante"

Selasa, 05 Januari 2010

Kutipan

"Manusia hidup dengan tindakan, bukan dengan gagasan." Anatole France (1844-1924), penulis Prancis

Rabu, 11 November 2009

Kutipan

"Kebenaran bukan untuk semua orang, tapi hanya untuk mereka yang mencarinya." Ayn Rand (1905-1982), penulis kelahiran Rusia
Google
WWW Blog ini