Selasa, 09 April 2013

Mengapa Hatimu Panas ?

Kejadian 4:1-15


Pendahuluan
Berbicara tentang kemarahan, saya menemukan beberapa kutipan yang menarik :
a. For every minute you remain angry, you give up sixty seconds of peace of mind (Ralph Waldo Emerson)
(Untuk setiap menit saat kamu dikuasai oleh amarah, kamu membuang 60 detik kesempatan untuk merasakan kedamaian)
b. Getting angry is actually punishing yourself with the mistakes of others
(Dikuasai oleh amarah sama seperti menghukum diri sendiri dengan kesalahan orang lain)
c. Anger is only one latter short of danger
(“Anger” [kemarahan] hanya berbeda satu huruf dengan “danger” [bahaya])
d. Holding on to anger is like grasping a hot coal with the intent of throwing it at someone else; you are the one who get burned (Buddha)
(Mempertahankan amarah sama seperti menggenggam sebuah batu yang panas dengan tujuan untuk melemparnya kepada orang lain; tetapi, sesungguhnya, kitalah yang terbakar)
e. Holding on to anger is like drinking poison and expecting the other person to die (Buddha)
(Memberi diri untuk dikuasai oleh amarah sama seperti meminum racun dan berharap orang lain yang akan meninggal)
f. Anger is what makes a clear mind seem clouded
(Amarah membuat pikiran yang jernih menjadi berkabut)
Kutipan di atas ditulis oleh orang yang berbeda-beda, tetapi dengan pesan yang sama, yakni: jauhilah amarah, karena amarah akan membawa dampak negative kepada diri kita.

Pembahasan
Namun, pesan ini memunculkan sejumlah pertanyaan :
a. Bukankah tertulis di dalam Alkitab, bahwa Tuhan pernah marah ? Bahkan, karena sangat marah, Tuhan menghukum manusia ? (Keluaran 4:14; Keluaran 32:7-14; Hakim-hakim 2:14; Markus 10:14; dst)
b. Bukankah manusia diciptakan dengan beragam emosi, salah satunya adalah amarah ? Kalau amarah bisa membawa dampak negatif, mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan emosi itu ? Sebaliknya, ketika Tuhan menciptakan manusia, termasuk dengan perasaan marah, bukankah Tuhan memandang ciptaan-Nya itu baik (Kejadian 1:31) ?

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, saya disadarkan bahwa :
a. Amarah adalah sesuatu yang manusiawi. Karena itu, merasa marah bukan sebuah dosa. Tetapi, amarah menjadi sebuah dosa, jika (1) didorong oleh alasan yang salah, (2) ditujukan kepada orang yang salah, (3) mendorong kita untuk bertindak salah, dan (4) membawa dampak negatif terhadap Tuhan, diri sendiri dan orang lain.
b. Meski terlihat sama, tapi ada perbedaan antara (1) amarah yang ditunjukkan oleh Tuhan, dan (2) amarah yang dirasakan dan ditunjukkan oleh manusia, yakni: pengaruh dosa. Dan, perbedaan inilah yang membuat kita menyebut: (1) amarah Tuhan sebagai amarah yang kudus, dan (2) amarah manusia, seringkali, tidak kudus.
Dan, perbedaan inilah yang ditunjukkan oleh kisah Kain dan Habel (Kejadian 4:1-15). Mari kita perhatikan bersama …

Sebagai sebuah catatan, sejak Sekolah Minggu, kisah Kain dan Habel diajarkan dengan penekanan pada persembahan mereka. Dan, banyak orang mengatakan bahwa persembahan itulah yang menjadi “akar” permasalahan antara Kain dan Habel, yang menyebabkan, pada akhirnya, Kain membunuh Habel.
Saya mengakui bahwa persembahan memang menjadi pemicu konflik antara Kain dan Habel. Namun, permasalahan yang sesungguhnya bukan persembahan, tetapi pengaruh dosa dalam kehidupan manusia, yang menyebabkan :
a. Tuhan tidak berkenan atas korban atau persembahan manusia.
b. Masalah korban atau persembahan itu, bergeser dari masalah spiritual menjadi masalah personal.
Itulah alasan penulis kitab Kejadian mencatat kisah ini setelah kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kejadian 3).

Jadi, melalui kisah Kain dan Habel, penulis ingin menggambarkan pengaruh dosa dalam kehidupan manusia, salah satunya dalam mempengaruhi perasaan marah yang, sebenarnya, sangat manusiawi.

Pendalaman Alkitab
a. Apa yang membuat Kain merasa marah ? Dalam Kejadian 4:3-5 ditulis bahwa Kain dan Habel memberi persembahan kepada Tuhan, tetapi Tuhan mengindahkan persembahan Habel dan tidak mengindahkan persembahan Kain.
Mengapa Tuhan tidak mengindahkan persembahan Kain ? Dalam Ibrani 11:4, firman Tuhan menyatakan bahwa: “Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain…”
Jadi yang membedakan keduanya adalah iman mereka. Dan, Tuhan memutuskan untuk mengindahkan persembahan seseorang atau tidak, berdasarkan iman orang tersebut.
b. Apakah Kain berhak untuk marah kepada Habel ? Jawabannya tentu tidak, karena Tuhan yang memutuskan untuk mengindahkan persembahan umat-Nya. Dan, meski Habel tidak memberi persembahan, atau memberi persembahan tidak pada waktu yang bersamaan, persembahan Kain tetap tidak diindahkan oleh Tuhan. Karena persembahan Kain tidak disertai dengan iman.
Namun, karena pengaruh dosa, menyebabkan Kain tidak dapat berpikiran jernih lagi. Sehingga, dengan alasan yang salah, Kain menumpahkan amarahnya kepada orang yang salah. Dan, karena didorong oleh amarah, pada akhirnya, ia melakukan tindakan yang salah, yakni membunuh Habel, adik kandungnya. Tindakan yang menyebabkan: (1) hatinya diliputi oleh perasaan bersalah, (2) Tuhan menjatuhkan putusan bersalah atas tindakan Kain, dan (3) keluarganya menderita karena tindakan Kain.

Aplikasi
Pertanyaannya kini, apa relevansinya bagi kehidupan kita ? Kisah ini mengajarkan kepada kita beberapa hal yang sangat penting.
a. Dosa memberi pengaruh negatif dalam seluruh aspek kehidupan kita, termasuk cara berpikir, perasaan, motivasi, dan sebagainya. Dan, karena pengaruh dosa, banyak orang, termasuk kita, sering membuat keputusan-keputusan yang salah, dan mengambil tindakan yang tidak tepat. Karena itu, kita harus membebaskan diri kita dari pengaruh dosa. Dan, satu-satunya jalan untuk memperoleh kebebasan itu adalah dengan pertolongan dan anugerah Tuhan Yesus. Karena, melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus telah mematahkan belenggu dosa. Sehingga setiap orang yang percaya dapat terbebas dari belenggu dosa, dan hidup sebagai orang yang merdeka.
b. Kalau kita sudah memperoleh kemerdekaan itu, jangan pernah memberikan diri kita (lagi) kepada dosa. Rasul Paulus pernah berkata: “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa…” (Galatia 5:13), melainkan untuk hidup dalam kebenaran.
c. Amarah bisa bersifat konstruktif maupun destruktif. Semua bergantung pada banyak aspek, seperti situasi, pikiran, respon, cara kita berkomunikasi, dan sebagainya. Namun, meski kita sudah berusaha bertindak dengan bijaksana, kita tidak dapat mengendalikan respon orang terhadap amarah kita. Dan, bagi kebanyakan orang, amarah, meski dengan tujuan yang baik dan alasan yang benar, tetap dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Karena itu, supaya niat baik dan tujuan kita tercapai, maka kita harus belajar untuk menjadi pribadi yang sabar, yang mampu mengendalikan amarah kita. Dan, kita membutuhkan pertolongan Roh Kudus, agar dapat mengendalikan amarah kita (Galatia 5:16-26). Karena itu, mintalah pertolongan Roh Kudus, dan ikutilah bimbingan-Nya. Maka kita akan dapat bertumbuh menjadi orang yang sabar, yang dapat mengendalikan amarah kita.

Tidak ada komentar:

Google
WWW Blog ini